19. Niat Selingan

83 9 10
                                    

Memiliki teman-teman di saat punya masalah bagiku adalah sebuah privilege. Terlebih jika mereka secara sukarela mau mengulurkan tangan serta menawarkan bantuan. Bayangkan, waktu dan tenaga mereka rela terbusng tanpa pamrih demi menolong kamu. Dan yang lebih membahagiakannya lagi, mereka selalu setia menemani kamu kapan saja. Mau sedih, mau senang, mereka siap mendengar cerita apa saja layaknya keluarga.

Sudah lama aku tak merasakan sparks di mana aku bisa curhat apapun kepada siapa saja. Aku telah lama berhenti melakukannya sejak lulus kuliah. Semasa aku menganggur, mencari kerja tak semudah aku memilih universitas negeri bergengsi sebagai tempat belajar.

Aku akui, aku tak pintar-pintar amat, tapi aku kreatif. Sayangnya, kreatifku terbatas. Aku tak punya ruang dan kesempatan untuk menuangkan segala kreativitasku yang kurasa punya potensi.

Dua bulan setelah lulus, tiga dari enam temanku secepat kilat mendapat pekerjaan di multinational company. Ada yang di retail gadget, retail FMCG dan satunya jasa ekspedisi. Satu lainnya meneruskan warisan orang tua yang merintis bisnis tour and travel. Satu temanku lolos BUMN perusahaan minyak, dan yang terakhir memilih menikah muda dengan seorang diplomat. Kecuali aku, semuanya sudah berada di jalur kesuksesan masing-masing.

Apalah aku, setahun menganggur usai lulus sarjana malah kecemplung di dunia F&B yang bahkan nggak sesuai dengan jurusan kuliah. Menyandang gelar S.Sn sama sekali nggak membuatku bisa berkembang selama bekerja di AsianFave.

Mana mungkin aku merancang desain produk pakai media piring kotor? Kalau ingin tambah layer, aku harus menumpuk piring-piringnya terlebih dahulu, gitu? Atau, membuat e-poster dengan memanfaatkan sampah makanan sebagai elemennya? Paling nggak masuk akal, menyusun busa-busa sesuai tiap-tiap bentuk gelembung agar menjadi mahakarya kolase atau mozaik yang bernilai tinggi.

Dan benar saja, ilmu yang kupelajari selama empat tahun serasa useless. Passion-ku perlahan memudar, hilang dan lenyap begitu saja. Menjadi dishwasher mulanya ingin kujadikan batu loncatan. Alih-alih cuma berniat mengincar gaji demi melunasi utang ke sepupu, aku malah terjebak ke dalam situasi masalah yang sangat fatal.

Aku tengah diam berdiri di ujung area dishwasher. Mengamati dua temanku sedang mengobrol, satu diantaranya memegang laptop abu-abu. Berada di lingkaran pertemanan Kak Drian dan Kak Abas merupakan hal yang tak terduga dalam hidupku.

Mengingat aku tak begitu banyak punya teman pria, paling hitungan jari. Bukan berarti aku tak ingin berteman dengan mereka, hanya... yah.. temanku sedikit. Perlahan mereka juga sibuk dengan dunianya masing-masing. Makanya kehidupan yang kujalani sekarang terasa amat hampa.

"Rida! Sini cepetan!" panggil pria bermata khas rubah. Aku segera mendatangi Kak Abas dan Kak Drian yang kompak memasang wajah serius bak detektif.

"Drian tadi minta data CCTV ke Pria Tantrum. Untung dikasih dan kita nemuin sesuatu!" ucapnya bersemangat. "Mana, Dri. Kasih lihat ke Rida."

"Rid, inget nggak waktu aku sama Kak Abas gantiin kamu pas lagi training ke Bali?" tanya Kak Drian.

"Iya ingat, kalian nemu apa emangnya?"

Kak Drian menyodorkan laptopnya, ia memberi tahu kalau ternyata di hari itu ada seseorang yang mondar mandir di depan pintu ruang penyimpanan piring. Mataku fokus melihat sosoknya yang tak begitu jelas, gambarnya blur, warnanya pudar meski tak sampai hitam putih. Seperti video jaman dulu yang maksimal batas resolusinya 144p. Astaga, bahkan saat dibesarkan hanya muncul kotak-kotak piksel.

"Keterangan waktunya sih sebelum aku sama Kak Abas dateng, Rid. Jam delapan pagi. Berarti sebelumnya dia udah tahu kalau kamu nggak dateng. Kita ke sini pertama kali tuh pas jelang makan siang." simpul pria bertubuh kurus.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang