20. Jejak Piring

92 10 6
                                    

"Kemarin dituduh ngoleksi video bokep, sekarang nyolong piring. Masih untung ya aku mau berteman sama kamu, Rid."

Kedua tangan pria berperawakan kurus itu tengah berkacak pinggang. Kak Drian sudah lebih dulu mencerca sebelum aku sempat melempar satu pertanyaan. Sepasang alisnya menukik tajam, mengikuti gerik dahi yang mengernyit tebal. Nada bicaranya barusan terdengar seperti ledekan, aku tak kuasa menahan gelak yang seharusnya kusimpan saja.

Situasi dapur tengah melengang, jam-jam sepi pelanggan. Kak Abas sedang keluar untuk menikmati istirahat. Di sini hanya ada aku dan Kak Drian yang betah berdiri sejak 45 menit lalu sambil memilah piring sesuai ukuran. Piring untuk appetizer, main course, side dish dan dessert. Nantinya piring-piring itu disimpan ke dalam kontainer boks. Meskipun aku tak diperbolehkan masuk ke ruang lemari penyimpanan, namun bukan berarti aku dilarang bekerja juga. Restoran nggak mau rugi. Huft. Dasar kapitalis!

"Eh? Segala cengengesan lagi. Kampret kamu, Rid!" sungutnya kian menjadi.

Gelakanku melirih, "Ah, aku lupa. Calon penghuni surga masa iya sih nyuri piring?" Aduh, mulutku ini semakin tak terkontrol ceplosnya. Kak Drian pun refleks menjentikkan jari bergaya sok angkuh. "Nah, itu kamu tahu."

"Lagian nih. Biar omonganku suka kasar gini, tapi aku sama sekali nggak pernah tergoda buat ngelakuin hal-hal kriminal kayak gitu. Bisa-bisa namaku dicoret dari KK sama bapakku!" imbuhnya.

"Hm, masa?????" ledekku sengaja.

"Ye... Orang lagi ngasih tahu juga!"

"Terus yang waktu itu kamu iseng mau ngambil sabun buat nyuci motor..." ucapku nanggung lalu buru-buru disela cepat.

"Eh, eh, eh! Sssst! Ya elah itukan bercanda doang, Rid! Aku nggak jadi ngambil, kok."

Mataku memicing datar, tanpa ada niat mengintimidasi dia sebetulnya. Hanya saja caraku ini cukup membuat dia terganggu hingga akhirnya, "Ya-iya dikit sih ngambil sebotol tanggung... TAPI CUMA DIISI SETENGAHNYA AJA KOK! Kan nanti aku refil lagi sabunnya."

Cih, ngaku juga kan dia. Sebotol tanggung yang dimaksud Kak Drian berukuran 600ml. Tak banyak, tapi dampaknya membuat kami nyaris kehabisan sabun cair sebelum waktu restok tiba.

Tanganku terulur hendak menepuk sebelah bahunya, "Nah gitu dong. Ngomong. Makasih loh Kak atas kejujurannya. Sip." terpatri sunggingan paksa dari bibir tipisku.

"Hehe. Nanti aku beneran ganti kok, Rid. Tenang." ulangnya.

"Udah nggak usah."

"Ah, yang bener?"

"Ya kamu pikir aja sendiri." sahutku gantian merengut. Dia pikir sabun cuci piring yang seukuran botol jerigennya saja seharga 500 ribu itu termasuk murah?

Ya tapi mungkin-mungkin saja sih kalau dianggap murah. Toh dia termasuk kaum menengah "cenderung condong" ke atas juga.

Kak Drian jadi saksi terakhir yang selesai kutanyai hari ini. Semula ia yang sudah diatur jadwalnya untuk besok tiba-tiba kumajukan saja. Aku ingin mempercepat proses pencarian pencuri piring sebelum waktunya habis.

"Rid, tadi Kak Abas nggak jelasin darimana dia bisa dapat rekaman CCTV lagi?"

Aku mengoleng, "Nggak tuh, Kak. Kenapa emang?" Tahu-tahu disambutnya dengan tatapan mata segaris, gelagat heran. "Ih, Kak? Kenapa?" tanyaku sekali lagi.

"Tadi dia bilangnya gimana pas abis ketemu Pria Tantrum?"

"Orangnya tadi nggak ada di sana, tapi PCnya pas lagi nyala, Kak. Jadi dia bisa ngakses dan nemuin file CCTVnya. Katanya sih gitu."

Ekspresi Kak Drian semakin tak percaya. Walaupun dia tak mengungkapnya secara lisan, tapi tergambar jelas dari mimik yang timbul tanda tanya.

Waktu tersisa empat hari lagi dan aku masih saja stuck alias tak bergerak. Posisiku dari kemarin cuma sebatas bertanya pada saksi yang sekelibat muncul terekam di kamera pengawas. Bertanya pada Kak Abas, Kak Wafa dan Kak Drian rasanya seperti percuma. Nihil. Semua jawaban mereka terdengar masuk akal buatku meski tetap harus waspada dan curiga. Jejak-jejak piring yang hilang semakin sulit saja kutelusuri.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang