18. Gelitik Batin

52 10 4
                                    

Biasakan vote dulu yuk sebelum baca, jangan lupa komennya juga. Enjoy reading!

***

"Brengsek juga ya Pria Tantrum. Maunya cuma nyelametin diri doang." respons pertama kali yang kudengar dari Kak Drian, setelah aku dan Kak Abas menceritakan sisa-sisa situasi kemarin.

Kami bertiga mulai menyusun strategi di sela-sela sibuk mencuci piring—sigh, profesional tetaplah yang utama. Posisi area kami yang berada paling belakang membuat suara obrolan kami tak bisa terlalu berisik, takut kalau sampai terdengar dan mengganggu area lain. Aku mendengarkan usulan dari masing-masing temanku. Dimulai dari Kak Drian yang ingin aku mengecek sekali lagi rekaman CCTV yang barangkali terlewat, sampai Kak Abas yang mengusul supaya aku bertanya pada pegawai-pegawai yang sempat melihat isi lemari istimewa.

"Kalau gitu, kalian aku juga tanyain nggak papa, nih?"

"Ya, nggak papalah." sahut Kak Drian tak keberatan.

Terlepas dari rasa kecewanya kemarin, pria yang sibuk merapikan piring ke kereta baki itu sudah kembali bersikap seperti biasa. Tak terlihat mimik tersinggungnya lagi, entah siapa yang berani membujuk sampai akhirnya dia berniat ingin membantuku juga.

"Kita saling transparan aja, jangan ada yang disembunyiin masing-masing dari kita." ucap Kak Abas menambahi.

"Terus..." ucapku terjeda, terlintas di ingatan akan salah satu sosok yang mustinya tak kutemui lagi.

'Kalau begitu, berarti.. Kak Wafa harus kutanyain juga?'

Mataku refleks terpejam diajak flashback, belum sampai seminggu dari pertemuan terakhir antara aku dan Kak Wafa di tepi sungai. Malam itu, aku yang berencana ingin pulang sendiri menaiki ojek online justru dilarang olehnya mentah-mentah. Karena dia yang mengajak, otomatis sudah pasti aku harus diantar kembali ke basement resto untuk mengambil motor. Namun yang Kak Wafa lakukan justru langsung mengantarku pulang sampai ke rumah.

Aku menahan malu yang teramat, masih saja mau diantar pulang meski tega telah memutus pertemanan dan menyakitinya. Belum lagi ia mengantarku persis sampai ke depan rumah. Nyaris saja ketahuan oleh Ibuku kalau putri sulungnya diantar oleh seorang pria. Kondisi rumahku berada di sebuah perumahan kelas menengah ke bawah, yang tiap-tiap rumah terhimpit di antara tembok tetangga sebelah. Pasti dia cukup ilfeel melihatku yang malah berlagak congkak dan seolah-olah tak membutuhkan lagi bantuannya.

"Terus kenapa, Rid?" Kak Abas membuyarkan lamunanku, ia melambaikan telapak tangannya tepat di depan wajah.

"Oh? Nggak, Kak." ujarku berupaya menutupi.

"Aku, Drian, Chef Wafa, terus... Eh, Chef Okta gimana, Rid?"

"Okta? Hmm, aku nggak yakin kalau dia pernah lihat lemarinya, Kak Abas."

Kedua bahunya terangkat, "Ya siapa tahu?"

Aku mengoleng, "Nggak, deh. Kayaknya."

"Semua yang kelihatan di CCTV kayaknya cuma kita bertiga, Chef Wafa, Pria Tantrum sama Mr. Sam, Kak. Ini kulihat hasil foto-fotonya nggak begitu jelas. Jelek banget sih kualitas gambar CCTV-nya! Belinya yang murahan, nih!" nimbrung Kak Drian seraya mencerca fasilitas AsianFave.

"Itu karena kemarin kita nggak nonton semuanya, Dri. Jadi yang dikasih tahu ya cuma mereka-mereka itu."

Sontak Kak Drian memiringkan kepala, "Kenapa gitu? Nggak ada yang diedit kan?" ragunya menaruh curiga.

Benar juga. Kemarin sewaktu dicek bersama-sama, aku hanya fokus menonton potongan-potongan videonya saja. Tanpa kepikiran kalau seharusnya aku bisa mengincar siapa-siapa saja yang pernah berada di area dishwasher. Di salah satu video, aku mengamati pergerakanku sendiri yang mengunci pintu setiap malam saat closing. Lalu cuplikan lainnya, ada momen saat Kak Drian dan Kak Abas mengecek piring selama kutinggal pergi pelatihan di Bali. Paling baru, sewaktu pengecekan piring jelang perilisan menu baru Kak Wafa. Semuanya tertera tanggal dan jam yang akurat.

Traces of Missing PlatesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang