"Kakak bakal pulang, 'kan?" tanya anak lelaki berusia 7 tahun saat mengantar kepergian kakaknya di bandara.
Hanya senyuman yang menjadi jawaban karena kakaknya yang terpaut usia hampir sepuluh tahun hanya mengusap puncak kepala. "Kakak akan pulang. Tenang saja."
Mata sang adik memanas, dia merentangkan tangan meminta pelukan terakhir. Mau tak mau kakaknya jongkok dan memberi dekapan.
"Kakak pasti pulang. Apa kamu senang?"
"Iya, aku senang. Aku akan menanti Kakak pulang. Jangan lama-lama, ya."
Dekapan mengendur dan tangis sang adik pecah. Dia menyeka air mata dengan punggung tangan.
"Kamu lelaki, gak boleh nangis."
Isakannya semakin keras, tetapi kakaknya justru berdiri dan melangkah pergi. Tak ada keraguan. Tak juga melihat ke belakang. Pada dirinya yang melambaikan tangan perpisahan.
Di sisi kanan, sang ibu tak kalah hebat menangis. Tubuhnya yang berbalut dres biru merosot. Dia jongkok seraya menutup wajah, menghalau kesedihan akibat kepergian anak sulungnya. Kuliah di negeri orang.
Melihat kesedihan ibunya, anak lelaki itu mendekat. Berniat menenangkan. "Ibu, masih ada aku di sini. Jangan nangis, ya."
Sang ibu mendongak setelah lebih tenang dan bangkit pergi tanpa menggandeng tangan anak lelakinya. Selama perjalanan pulang, tak ada pembicaraan antara mereka. Sang ibu hanyut dalam kesedihan yang mendalam. Anak lelaki juga lebih memilih diam setelah upayanya menenangkan tak membuahkan hasil.
Sesampai di rumah, ibunya langsung masuk ke kamar. Lalu hari-hari berlalu sama. Setiap malam, suara isakan mengisi malam dan anak lelaki itu hanya berdiri di depan pintu mendengarkan.
Dia tak paham. Mengapa dunianya sekarang berubah? Mengapa sekarang tak tinggal bersama ayahnya? Mengapa kakaknya juga ikutan pergi? Mengapa setiap malam ibunya menangis? Apakah salah dia memberi tahu jika ayah pergi dengan wanita lain? Karena seingatnya, perubahan hidupnya dimulai sejak saat itu.
Kembali ke kamar, anak lelaki itu duduk di samping ranjang seraya menekuk lutut. Dia merasa sepi. Sendiri. "Kak, cepet pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...