17

38 4 2
                                    

Tengah malam Aksa terbangun. Duduk di tepi ranjang, dia memijit pelipisnya sembari meringis. Sial! Kepalanya sakit.

Membuka laci, dia mencari obat pereda nyeri atau sakit kepala. Namun, tak ada sama sekali. "Mak pasti menyimpan di bawah." Dia beranjak keluar kamar.

Sesampai di lantai satu, dia lekas membuka kotak obat. Begitu mendapatkan, satu butir langsung ditelan tanpa air.

"Apa yang kamu minum?" tanya Ibu Agni mengagetkan Aksa. Sedari tadi dia duduk di ruang santai. Ketika melihat Aksa mencari obat, dia berjalan perlahan.

Aksa mundur selangkah, kaget tak menduga ibunya berdiri beberapa meter darinya. Dia menyembunyikan obat di balik tubuh. "I-ibu belum tidur?"

"Berikan pada Ibu." Ibu Agni mendekat lantas merebut obat dari Aksa.

"Mak Ris bilang, beberapa minggu ke belakang, kamu sering mengonsumsi obat sakit kepala," kata Ibu Agni ketika berhasil merebut obat yang diminum Aksa.

"Gak pa-pa. Hanya—."

"Kalau begitu kamu harus minum multivitamin. Biar besok Ibu suruh Mak Ris carikan." Ibu Agni berjalan ke arah meja makan lalu memutar tubuh. "Duduklah. Biar Ibu buatkan wedang jahe." Dia menatap penuh harap pada Aksa.

"Ibu seharusnya tidur, bukankah besok masih kerja."

"Apa kamu menolak niat baik Ibu?"

"B-bukan begitu. Aku ... hanya gak mau Ibu kecapekan saja."

Ibu Agni berlalu ke dapur. "Ibu sudah istirahat." Dia membuka kulkas, mencari jahe.

Sedang Aksa duduk sesuai perintah. Sesekali dia melirik ibunya yang tengah berkutat di dapur. Padahal dia berniat kembali ke kamar, tidur. Efek samping obat mulai bekerja. Beberapa kali dia menguap. Belum lagi harus menunggu ibunya membuat wedang jahe yang terbilang lumayan lama. Sedang tak ada percakapan di antara mereka. Dia meletakkan kepala di meja dan dalam hitungan menit tertidur pulas.

Begitu selesai membuat wedang jahe, Ibu Agni melihat Aksa tertidur. Dia mendekat, meletakkan minuman di meja. Pandangannya menelusuri setiap inchi wajah Aksa, tetapi yang ditangkap adalah wajah anak sulungnya—Arga. "Ga, kapan kamu pulang? Ibu kangen." Pandangannya memburam lalu air mata berjatuhan. Dia terisak, rindu ingin berjumpa.

Aksa mengerjap, mendengar isakan. Dia tak paham apa yang terjadi, tetapi menduga jika ibunya tengah merindukan sang kakak. Apalagi yang bisa membuat menangis. "Bu."

Ibu Agni langsung menyeka air mata dengan tisu ketika mendengar panggilan. Dia tersenyum lantas menyodorkan wedang jahe yang sudah dingin pada Aksa, tetapi air mata terus berjatuhan.

Aksa bangkit dan memberi sebuah pelukan dengan canggung. Dia berusaha menenangkan seperti yang dilakukan saat masih kecil.

****

"Dengar-dengar dari Mak Ris, kamu mengikuti kejuaraan lagi." Ibu Agni membuka percakapan ketika berada di mobil. Pagi ini dia kembali mengantar Aksa ke sekolah. Berhubung, masih cuti dia bisa leluasa bertanya banyak hal yang ingin dimengerti dari anak bungsunya.

Aksa menelan ludah. Mengapa juga ibunya mendadak menanyakan? "Iya." Dia menjawab sekenanya.

"Kapan pertandingannya lagi?" Jujur, dia tak terlalu mengerti juga suka tentang olahraga basket. Namun, tak ada salahnya melihat sekali lagi. Apalagi pertandingan terakhir dirinya sibuk dengan ponsel. Hampir tak sempat melihat kemampuan Aksa di lapangan.

"Aku ... sudah keluar dari tim."

Ibu Agni berusaha menguasai keadaan walau bisa dibilang cukup syok mendengar ucapan Aksa. Dia menginjak pedal rem ketika sudah berada cukup dekat dengan gerbang sekolah. "Kenapa? Apa karena Ibu pernah menyuruhmu? Bukankah selama ini kita selalu berdebat hanya karena aku gak memahami keinginanmu bermain basket. Lalu kenapa kamu keluar?"

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang