13

25 2 0
                                    

Aksa berpura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi pada ibunya. Bersikap biasa walau nyatanya diam-diam merasa bersalah karena tak memahami apa yang terjadi. Hari demi hari hanya memperhatikan gerak-gerik Mak Ris.

"Ibu sudah pulang?" tanya Aksa sepulang latihan dan mendapati mobil ibunya terparkir di garasi.

"Iya, Den. Katanya Ibu mau istirahat, jadi nanti malam gak bisa makan bareng."

Aksa tahu ibunya menghindar agar tidak menimbulkan kecurigaan baru saja pulang dari rumah sakit. Dia menatap kamar ibunya yang tertutup rapat. "Iya, Mak. Gak pa-pa." Baru juga berniat menaiki tangga, tubuhnya kembali tertahan oleh pertanyaan Mak Ris.

"Den mau kue? Ibu tadi bawa. Biar nanti Mak antar ke atas."

Kue? Bahkan selepas pulang dari rumah sakit saja masih memikirkan membawa oleh-oleh kue untuknya. "Boleh, Mak."

Sesampai di kamar, dia lekas membersihkan diri. Baru juga keluar kamar mandi, suara ketukan di pintu membuatnga langsung membuka.

"Permisi, Den." Mak Ris membungkukkan tubuh, meminta izin masuk kamar untuk meletakkan nampan. Kue coklat yang selalu dibeli ibunya juga jus buah diletakkan di meja belajar.

"Iya, Mak. Terima kasih." Aksa masih bergeming di depan pintu meski Mak Ris berlalu keluar. "Mak."

Panggilan Aksa membuat Mak Ris menoleh. Langkahnya ikut tertahan. "Iya, Den. Ada apa?"

"Apa ... Ibu ... baik-baik saja?"

Bodoh! Bodoh! Bodoh! Aksa merutuk pertanyaan yang keluar.

Mak Ris terkejut dengan pertanyaan Aksa lalu senyum tipis menghiasi wajah setelahnya. "Iya, Den. Ibu hanya kecapekan perjalanan jauh. Apa Den sudah kangen berdebat dengan Ibu?"

Mendengar kata kangen, tentu saja membuat Aksa salah tingkah. Bukan! Dia tidak kangen, hanya sedikit khawatir. Namun, dia sendiri tak tahu harus mengungkapkannya. "Tidak ... hanya saja Ibu keluar kota terlalu lama. Gak seperti biasanya."

"Iya, Den. Nanti Mak bilangin ke Ibu kalau Den pengen ketemu Ibu." Mak Ris tersenyum melihat wajah salah tingkah Aksa.

"Bukan begitu, Mak."

"Ada kalanya suatu hubungan memerlukan jarak untuk tahu seberapa dalam cinta yang ada, Den. Gak usah malu untuk mengakuinya. Den kangen dengan Ibu bukan?"

Aksa memalingkan wajah. "Itu kesimpulan yang Mak buat. Padahal aku hanya bertanya saja."

Mak Ris tertawa kecil, tahu Aksa malu mengakui. Tak mau membuat suasana semakin tidak nyaman, dia pamit kembali ke dapur.

Aksa juga lekas menutup pintu. Dia berjalan menuju meja belajar, melihat kue coklat yang tersaji di meja. "Memang dengan membelikanku kue, aku bisa berpura-pura gak tahu apa yang sebenarnya terjadi?" Dia menengadahkan wajah, menahan air mata yang hendak jatuh. "Kenapa Ibu lebih memilih diam?"

*****

Baru saja Aksa datang untuk sarapan, Ibu Agni yang sudah memakai baju kerja keluar kamar. Dia duduk bergabung.

Aksa diam, meski begitu ekor mata melihat punggung tangan ibunya saat mengambil telur mata sapi dengan kentang rebus. Masih menyisakan warna biru, sisa bengkak efek jarum infus.

Mereka makan dalam diam. Sesekali Aksa melirik hingga Ibu Agni menyadari.

"Apa yang mau kamu katakan?"

Lelaki berusia delapan belas tahun itu segera menyembunyikan wajahnya. "Gak ada."

"Biasanya kamu selalu mengajak debat."

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang