Aksa duduk di ruang tunggu dengan gelisah. Sesekali meremas jemari, mengusap wajah dengan kasar atau menghela napas panjang. Satu per satu nama pasien disebut dan dia masih menanti dengan gentar.
Setelah pasien terakhir keluar, dia sontak menelan ludah. Benar saja, namanya dipanggil tak lama setelahnya.
Bangkit, dia masuk ke ruangan untuk menghadapi kenyataan.
"Di mana wali Anda?" tanya dokter setelah Aksa duduk dan menunggu beberapa saat. Lelaki itu mengira wali pasiennya masih berada di luar.
"Ibu saya sedang di luar kota." Aksa berusaha menghindari tatapan dokter.
Dokter itu hanya menghela napas setelah memperhatikan beberapa saat. Paham bahwa kemungkinan Aksa belum memberi tahu keluarganya. "Padahal saya berharap wali Anda bisa datang, karena ini akan menentukan kelanjutan tindakan untuk penyakit Anda."
Aksa yang tadinya menunduk, kini mendongak mendengar kata penyakit. "Maksudnya, Dok?"
Lelaki itu memutar kursi, mengambil hasil CT-SCAN lalu mengeluarkan. "Hasil CT-SCAN memperlihatkan adanya pertumbuhan sel abnormal dalam otak. Itu mengapa Anda sering mengalami sakit kepala karena telah terjadi penekanan." Dia menunjukkan lokasi sel-sel lantas menjelaskan kembali langkah yag harus diambil.
"Kita harus segera melakukan biopsi untuk melihat apakah ini sel ganas atau jinak dan menentukan pengobatan selanjutnya."
Aksa syok. Ini bukan perkiraannya. Dia pikir hanya pendarahan akibat pukulan. Bukan tumor atau kanker. Dia terdiam beberapa saat. "Apakah tidak ada opsi lain? Pengobatan jalan."
Setelah hampir setengah jam berbincang dengan dokter, Aksa keluar ruangan dengan hasil CT-SCAN di tangan. Tubuhnya tak bertenaga, seolah dunia yang dimiliki tengah menimpanya.
Duduk di ruang tunggu, Aksa menatap kosong. Pasien lalu lalang membawa harapan dan doa, sedang dirinya baru saja tenggelam dalam kesedihan dan keputusasaan. Bagaimana dia harus memberi tahu ibunya yang juga tengah berjuang dengan penyakit jantungnya? Memang, dia pernah menginginkan kematian agar ibunya bisa melihat dirinya seutuhnya. Namun sekarang, dia ingin hidup lebih lama.
Dia menutup wajah dengan salah satu tangan lalu tertawa kecil. "Aku harus bagaimana?"
Hampir setengah jam Aksa duduk, berharap menemukan solusi permasalahannya. Namun, kepalanya justru semakin sakit. Dia pun pergi menuju ruang administrasi, menyelesaikan pembayaran baru pulang.
Menjejak rumah, suasana dalam kondisi sepi. Mak Ris entah berada di mana.
Dia berjalan menuju dapur, kembali mencari wine. Pikirannya begitu penuh dan dia ingin melupakan sejenak apa yang menimpa. Tentang penyakit yang bersarang dalam otaknya. Tentang tubuh yang tak seperti dulu. Tentang keinginan bermain basket yang tak bisa dilakukan mulai sekarang. Bahkan mungkin kematian yang ikut mengintai. Namun, yang dicarinya tak ada. Kemungkinan Ibu atau Mak Ris sudah memindahkan.
Akhirnya dia ke kamar. Menyimpan berkas hasil pemeriksaan di bawah tumpukan bajunya agar tak ada seorang pun menyadari.
Setelah menutup lemari, dia bersandar pada lemari. "Kenapa gue?" Dia meremas rambut dengan kesal lalu pandangannya memburam.
***
"Sa, lo kenapa gak berangkat kemarin? Ke mana aja?" tanya Fandi begitu Aksa masuk ke kelas. Dia berdiri di samping meja. "Kita perlu membicarakan-"
"Sorry, Fan. Lain kali saja kita bahasnya. Gue ... sedang gak mau mbahasnya." Aksa terpaksa berbohong.
"Lo sakit?"
"Gak."
Fandi terpaksa kembali ke kursinya karena bel tanda pelajaran dimulai berbunyi. Juga menghormati Aksa yang meminta untuk tak membahas. Mungkin memang benar, Aksa tak tahu apa-apa hingga syok dan tak berangkat sekolah. Pasti berat menerima keputusan yang mendadak. Apalagi selama ini Aksa adalah ketua tim.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...