Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tetapi Aksa masih berkutat dengan buku pelajaran. Kepalanya hampir meledak, penuh dengan berbagai hafalan rumus juga pengetahuan yang memuakkan. Namun, entah mengapa dia juga tak bisa berhenti barang sebentar. Mengistirahatkan tubuh yang sudah di ambang batas lelah.
Suara perut menandakan jika tenaga yang dipakai untuk belajar sudah minta diisi ulang. Minuman kemasan juga roti yang dibawa setelah makan malam juga sudah tandas, menyisakan plastik saja.
Bangkit, dia keluar kamar lantas menuruni tangga. Menuju dapur, mencari roti coklat yang selalu disediakan oleh Mak Ris.
Diambil minuman kemasan juga sepiring penuh kue coklat. Baru saja menutup pintu kulkas, ibunya yang kebetulan belum tidur berdiri di ambang pintu dapur. Dengan tatapan tajam seolah tengah mempergoki maling. "Apa yang kamu lakukan jam segini?"
Aksa hanya memandangi ibunya lantas pergi tanpa sepatah kata.
Ibu Agni memutar tubuh, menghadap Aksa yang berjalan menjauhinya. "Seharusnya kamu belajar!"
Gigi Aksa saling beradu. Tanpa disadari tangannya memegang piring terlalu keras saat mendengar ucapan ibunya. Ah, sial. Kenapa selalu saja tak percaya jika sekarang dia tengah belajar mati-matian? Apa kemampuannya benar-benar payah? Apakah dia harus membawa buku agar lebih meyakinkan? Dia tak main-main saat mengatakan tak butuh guru privat.
Langkah Aksa tertahan dan lagi-lagi amarah sudah memenuhi separuh kewarasan. Selalu saja. Apa yang dilakukan selalu salah. Bahkan mungkin bernapas. "Aku gak mau jawab, toh bagi Ibu semua yang kulakukan adalah salah."
Dia berlalu menaiki tangga lantas menutup pintu kamar dengan keras. Tak dipedulikan pekikan ibunya. Diletakkan piring di samping tumpukan buku dan perutnya mendadak kenyang. Bahkan keinginan melanjutkan belajar menguap. Buat apa dia mati-matian belajar? Toh tak akan mengubah keadaan? Dia tetap kalah dari Arga.
Dia memilih mengempaskan tubuh di kasur. Lelah. Tak beberapa lama, dia tertidur pulas hingga tak menyadari matahari sudah terlampau tinggi. Jika bukan karena Mak Ris membangunkan, tentu saja pasti terlambat.
"Bisa-bisanya ujian hari pertama dan kamu terlambat bangun! Begitu gayanya gak butuh guru privat."
Baru saja mengempaskan pantat di kursi, omelan ibunya sudah membuat Aksa kenyang lebih dahulu. Namun, tak dihiraukan suara sumbang yang terus saja merangsek masuk ke gendang pendengaran dan memilih sarapan. Setidaknya memberi asupan otak untuk mengerjakan soal nantinya.
"Kamu dengar gak Aksa?"
Mendengar namanya disebut dengan intonasi yang lumayan tinggi, kepala Aksa mendadak sakit. Sial. "Iya." Dia menjawab sekenanya. Toh mau dijawab panjang atau pendek, omelan tak akan berhenti.
"Awas saja nilaimu gak mengalami kenaikan!"
Mendengar ucapan bernada mengancam tentu membuat seleranya menghilang. Dibanting sendok hingga membuat Ibu Agni terkejut. Dia mendorong kursi sebelum menyambar tas ransel dan pergi tanpa berpamitan.
"Aksa!"
Tak dihiraukan panggilan ibunya. Dia berjalan keluar dengan wajah gusar. Mengapa setiap hari hidupnya selalu saja sama? Omelan tak pernah absen. Belum lagi tuntutan untuk mengalahkan Arga, tetapi kenapa juga dia menerimanya? Bodohnya!
"Bareng, Den?" tanya Pak Tomo ketika selesai mengelap kaca mobil. Dia mendekat seraya membungkukkan sedikit tubuh.
Aksa menggeleng sebagai jawaban. Biasanya disertai dengan senyuman. Namun, kali ini otot pipinya terasa berat. Segera diambil ponsel di saku celana, menelpon ojek langganan. Tanpa menggunakan aplikasi. Tak sampai lima menit sudah datang berbarengan dengan ibunya keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...