12

25 4 0
                                    

"Apa yang akan kamu lakukan selama liburan?" tanya Ibu Agni saat sarapan.

Aksa sedikit syok mendengar pertanyaan. Sangat klise dan terkesan basa-basi, tetapi juga seperti sebuah perhatian hangat. Lagi-lagi otaknya kebingungan untuk menjawab. Ini tak pernah ada dalam keseharian. "Aku gak tau. Bukankah Ibu selalu melarangku keluar." Dia sama sekali tak berani menatap wajah ibunya. Tak seperti biasa ketika saling beradu debat.

Ibu Agni sama sekali tak berminat melanjutkan sarapan. Dia menyandarkan punggung dengan pandangan tertuju pada putranya. "Kamu bisa bermain olahraga dengan temanmu. Aku gak akan melarangnya." Intonasi maupun suaranya begitu lembut membuat Aksa tak bisa membantah.

Setelah semalam ibunya memberi kebebasan kembali bermain basket, tentu kali ini membuat Aksa semakin canggung menerima hal yang diinginkan sejak lama. Bisa keluar rumah selama liburan. Mungkinkah semua karena wujud penyesalan yang tak tersampaikan? Entahlah. Dia tak mau mengungkitnya. Selama ibunya berusaha memahami, dia akan mencoba bertahan dan tak akan menanyakan statusnya dalam keluarga.

Mungkin memang benar, dia anak hasil perselingkuhan. Sang ayah tak mau mengakui dirinya hingga memutuskan bercerai, lantas kakaknya memilih pergi tanpa mau memberi kabar atau berbasa-basi layaknya saudara. Yang dimiliki sekarang hanya sang ibu saja.

"Kenapa kamu diam? Apa kamu gak senang?"

Pertanyaan wanita yang memakai dres hijau emerald, membuat Aksa semakin bingung.

"Oh, Ibu lupa. Kamu gak punya uang jajan." Tersadar tak memberi uang saku selama liburan, Ibu Agni meraih tas jinjing berwarna senada di sisi kanan. Lantas mengambil ponsel.

"Ibu sudah mentransfer uang jajan selama liburan. Gunakanlah."

Aksa yang sedari tadi hanya mengaduk-aduk nasi dibuat kehilangan kata-kata. Sesekali dia melirik ibunya yang justru bangkit. Canggung rasanya mengucapkan terima kasih.

"Besok Ibu pergi ke luar kota. Terserah kamu mau melakukan apa asal tetap pulang."

Sekarang ucapan ibunya terdengar penuh perhatian, bukan sekedar larangan. Hati Aksa menghangat. "Aku gak tau kenapa Ibu mendadak berubah seperti ini."

Ibu Agni yang baru saja mengambil tas, sontak tertegun. "Ada kalanya ...  rasa sakit yang mendalam akan membuat orang berubah dengan penuh kesadaran." Dia berlalu pergi. Tak ingin pembicaraan menjadi perdebatan.

Begitu suara sepatu ibunya menghilang berganti deru mobil, Aksa masih bergeming di tempat. Ini semua di luar dugaan dan membuat sakit kepala.

Mak Ris mendekat melihat Aksa menggigit bibir seraya meremas rambut. "Kenapa, Den? Sakit?"

Aksa tersentak kaget lantas tersenyum meyakinkan. "Gak, Mak." Dia menarik tangannya agar tak memperlihatkan sakit kepala yang mendera beberapa minggu terakhir.

"Mak lihat, beberapa hari Den seperti sakit kepala. Apa Mak perlu buatin jamu?"

"Gak usah, Mak. Terima kasih. Aku mau istirahat saja. Mungkin hanya masuk angin setelah dari pantai." Aksa mendorong kursi dan berlalu ke kamar. Namun, bukan istirahat justru membuka pesan dari rekan satu tim yang menanyakan latihan. Setelah merencanakan kapan waktu latihan, sebuah pesan dari ibunya masuk.

[Apa uangnya cukup?]

Tangan Aksa tertahan membalas pesan. Nominal yang ditransfer ibunya jauh lebih besar daripada uang saku selama sebulan.

Dia memandang pesan yang belum dibuka cukup lama. Lalu ucapan ibunya saat dirinya masih kecil hadir menyapa. "Jangan pergi, Aksa. Kumohon."

Apakah kebebasan yang diberikan padanya adalah sebuah respon ketakutan? Jika dirinya akan pergi meninggalkan ibunya, sama seperti ayah juga sang kakak yang tidak bisa menerima kekurangan juga kesalahan.

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang