Sesampai di kelas, Aksa langsung menuju bangkunya. Mengabaikan Fandi dan Firdaus yang tengah bercengkerama.
Hal itu membuat kedua temannya heran. Mereka saling berpandangan sesaat lantas mendekat.
Fandi duduk di sebelah Aksa yang berusaha menyembunyikan bibirnya yang pecah. Sedang Firdaus berdiri dengan tanda tanya di benak.
"Siapa yang bikin lo kayak gini?" tanya Fandi berusaha menyembunyikan keterkejutannya saat melihat bibir Aksa membiru.
"Jangan bilang dia lagi!" Firdaus ikut angkat bicara. Spekulasi tentu menjurus pada kapten tim lawan, yang terlampau sering membuat gara-gara dengan Aksa. Tak terima dengan kekalahan hingga membawa masalah ke luar lapangan. Tak hanya sekali. Sering. Bahkan sudah menjadi langganan ketika pertandingan berakhir dan sekolah mereka menjadi juara. Herannya, Aksa justru tak mempermasalahkan meski babak belur dihajar.
"Bukan masalah besar." Aksa tak mau permasalahan semakin besar. Apalagi melibatkan rekan satu timnya. Padahal permasalahan murni hanya antara dirinya dengan ketua tim lawan.
"Sekali-kali lo harus kasih pelajaran! Jangan diam saja! Kalau perlu kita datangi ke sekolahnya. Beraninya menantang kita." Firdaus menatap Fandi, seolah meminta persetujuan dengan idenya.
Fandi mengangguk, membenarkan. "Kita harus membalasnya."
"Heh, gue masih hidup. Gak usah berlebihan."
"Jadi kita harus turun tangan kalau lo mati gitu? Kalau lo babak belur sampai ada ada syaraf lo yang putus?" Pandangan Firdaus terus tertuju pada Aksa. "Ini bukan yang pertama kali."
Beruntung jam perjalanan berbunyi menghentikan perdebatan mereka. Firdaus kembali ke kursinya yang berada di nomor dua dari belakang.
"Firdaus bener, Sa. Sekali-kali kita harus memberinya pelajaran. Jangan hanya karena dia dulu adalah sahabat lo, sekarang diam." Fandi berusaha memberi pengertian Aksa, meski tahu tak akan digubris. Sudah sejak lama kejadian sama terus terulang. Sebagai rekan satu tim juga teman sekelas, dia tak terima kekalahan pertandingan dilanjutkan di luar arena. Bahkan melibatkan fisik. Benar-benar tak jantan. Dan herannya kejadian selalu di saat Aksa sendirian.
"Thanks, tapi gue gak mau masalah semakin besar saja." Aksa tersenyum meyakinkan jika masalah kali ini sama seperti sebelumnya. Cukup mengabaikan dan semua akan berakhir. Dia tak mau masalah menjadi panjang dan menyeret ibunya.
Fandi memilih kembali ke kursinya yang berada di depan, karena pak guru datang tak lama setelahnya.
Ketika jam pelajaran berakhir, Aksa dan keempat rekan timnya langsung menuju lapangan basket. Latihan. Walau tak ada pertandingan, sepulang sekolah mereka selalu menyempatkan diri berlatih. Sekedar merenggangkan otot.
Aksa menaikkan tangan kanan pertanda meminta waktu istirahat. Begitu keempat temannya melihat, dia berjalan keluar lapangan.
"Heh, ini belum ada setengah jam," protes Fandi seraya mendekati Aksa yang memilih duduk di lantai yang berada pinggir lapangan dan mengambil minum. Dia melempar bola basket setelah sebelumnya meminta Firdaus menangkap.
Aksa hendak menjawab keluhan temannya, tetapi justru tersedak. Bukannya bangkit sebagai refleks agar celana tak basah, dia justru membiarkan. Entah mengapa dia sudah merasa lelah dan tak sanggup berdiri. Yang dilakukan hanya duduk diam sembari mengatur napas.
"Ya elah, gak ada juga yang mau minta minumanmu." Bayu mendekati Aksa. Bukan untuk menepuk punggung Aksa yang terbatuk-batuk melainkan mengambil earphone dalam tas dan menyumpal kedua telinganya. Mendengarkan lagu. Tak beberapa lama, kepalanya sudah mengangguk-angguk pertanda menikmati iringan musik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...