18

38 6 4
                                    

Mak Ris membuka pintu, membawa nampan berisi makan malam lantas Ibu Agni mengambil alih dan meletakkan di nakas dekat ranjang.

"Ibu gak makan?" tanya Aksa yang beranjak bangun dan mendapati nampan berisi satu porsi makan malam.

Ibu Agni meletakkan bantal di punggung Aksa untuk duduk bersandar. "Apa kamu gak pusing saat duduk?"

"Sudah kubilang, ini gak pa-pa. Ibu hanya ... berlebihan."

"Kalau memang gak pa-pa, gak mungkin kamu sering minum obat." Tanpa menatap Aksa, dia memutar tubuh dan mengambil salah satu menu makan malam, sup asparagus dengan daging kepiting. Dia menyendok lalu meniup-niup sebelum menyuapkan pada Aksa. "Apa setiap setelah makan, kamu muntah di kamar?" tanyanya seraya menahan genangan air mata yang kembali meluap.

Aksa menerima suapan seraya menggeleng sebagai jawaban.

"Ibu baru sadar, ternyata kamu sangat jago berbohong." Ibu Agni langsung menyeka air mata yang meluncur di pipinya.

Aksa beranjak mendekati ibunya, meminta mangkok juga sendok sup. "Bu, semua akan baik-baik saja." Dia masih saja menenangkan ibunya yang sejak tadi tak bisa menghentikan tangisannya. Ada rasa bersalah yang teramat dalam karena membiarkan kebenaran diketahui. Namun, cepat atau lambat pasti akan terbuka.

Ibu Agni menutup wajah dengan kedua tangan lalu kembali terisak. "Apapun yang terjadi, kamu harus sembuh, Sa."

Jika dulu saat kecil, Aksa sering mempergoki ibunya menangisi sang kakak. Tahun demi tahun, rasa bersalah karena merasa dirinya sebagai penyebab segala kekacauan terus menghantui. Dan sekarang, bertambah karena telah membuat ibunya bersedih karena penyakitnya. "Iya, aku akan sembuh. Ibu sudah berjanji menemaniku jadi Ibu juga harus sehat. Kita makan bersama, Bu."

Ibu Agni menyeka air mata, menyadari Aksa justru memikirkan dirinya yang tengah bersedih. Dia mengangguk lantas mengambil alih mangkok. "Biar Ibu saja." Dia menyuapi Aksa dan bergantiin dirinya. Benar, dia harus tegar meski ketakutan sudah merasuki tulang-tulang.

"Ibu buatkan wedang jahe, ya." Selesai makan berdua, Ibu Agni membawa turun nampan dan bergantian membuat wedang jahe. Selama di dapur, dia berulang kali menyeka air mata.

Mak Ris berusaha mengambil alih, tetapi ditolak. "Biar aku saja. Aku Ibunya. Aku yang harus bertanggung jawab padanya."

Mak Ris tak berani membntah, walau jauh di dalam hati juga merasakan kesedihan yang sama. Siapa yang menduga jika Aksa menyembunyikan penyakit yang dikategorikan cukup serius. "Ibu juga harus jaga kesehatan."

Ibu Agni mengangguk lantas kembali ke kamar Aksa. "Masih panas." Dia meletakkan di nakas dan duduk di tepi ranjang.

Ibu Agni mengelus punggung tangan Aksa berulang. Sesekali bertanya apa yang dirasakan Aksa. Walau berusaha tegar, nyatanya dia tetap tak bisa menghalau kesedihan saat mendengar jawaban sarat kebohongan. "Malam ini, biar Ibu di sini."

Aksa merasa senang dengan perhatian yang diberikan ibunya. Harapan jika segala sesuatunya akan berjalan lancar keesokan hari dipanjatkan. Bagaimanapun dia masih ingin bersama, memberikan prestasi terbaik. Menemani ibunya di segala waktu.

Setelah wedang jahe habis, Ibu Agni meminta Aksa lekas istirahat. Besok pagi mereka akan ke rumah sakit. Jadi harus mempersiapkan stamina.

Diperhatikan wajah Aksa yang mirip sekali dengannya. "Maaf, Sa. Kamu menjadi seperti ini karena Ibu. Kumohon, jangan tinggalkan Ibu." Sepanjang malam, dia mengusap rambut Aksa lalu terlelap di samping anak lelakinya. Dia memeluk seolah takut kehilangan.

Aksa bangun karena mendengar keributan dari luar kamar. Dia segera bangkit dan melihat apa yang terjadi di lantai satu.

"Cepat telepon ambulan!"

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang