Aksa menuruni tangga dengan tas ransel yang menempel manja di bahu kanan. Begitu menjejak lantai satu, senyum Mak Ris menyambut kedatangan.
"Ibu sudah berangkat, Mak?" Aksa menarik kursi setelah meletakkan tas di meja.
"Iya, Mas."
"Pagi sekali." Hanya kata itu yang keluar dari mulut seiring perubahan wajah menjadi sendu. Sudah sangat lama dia tak duduk bersama dengan ibunya menikmati sarapan, pun ketika akhir pekan. Seolah hari-hari hanya berkutat dengan pekerjaan.
"Iya, katanya mau sarapan bareng klien."
Hah? Apa dia gak salah dengar? Sarapan dengan klien? Bagaimana bisa lebih mendahulukan klien da. Ya, dia tahu ibunya memang berkedudukan tinggi. Sebagai senior manager yang begitu sibuk dari pagi hingga petang, tetapi apa susahnya sesekali sarapan dengannya? Oh, ya tentu saja jawabannya karena dia bukan Arga.
Tangan Aksa meraih nasi goreng juga beberapa lauk yang tak menggoda. Hanya sedikit yang diambilnya. Tak ada selera. Selalu. Setiap hari.
"Kok cuma sedikit makannya, Den? Gak diet 'kan? Sekarang Mak lihat sedikit susut."
Aksa memperhatikan pembantunya yang justru lebih perhatian padanya. Mungkin sebagai sesama seorang ibu, naluri memberikan kasih sayang keluar begitu saja. Ah, andai saja yang bertanya adalah ibunya, tentu dia akan senang.
"Kebanyakan main basket, Mak."
Wanita paruh baya itu masih berdiri di dekat Aksa, seolah ingin menemani anak majikannya yang setiap hari sendirian. Bukan, tetapi memang sudah kebiasaan karena Aksa yang meminta ditemani atau diajak berbincang saat sarapan. Sebagai pengisi kesepian.
"Oh, ya. Selamat ya Den, kemarin menang."
Ucapan Mak Ris membuat kunyahan lelaki yang memakai seragam abu-abu itu memelan. Ah, senangnya dia mendapatkan validasi dari seseorang. Untuk kerja keras yang sama sekali tak dihargai ibunya.
"Makasih, Mak." Aksa tersenyum seraya menahan air mata yang seketika merebak di pelupuk mata. Terkadang tak banyak yang diminta. Hanya ucapan sederhana, tetapi mengapa ibunya tak paham. Terkadang, dia berusaha memahami love language yang diberikan ibunya yang berupa materi. Mengingat dirinya sudah dewasa, tetapi sebenarnya hanya raga. Ada anak kecil yang ingin dimanja juga diberi perhatian. "Bisa gak aku tukaran jadi anak Mak saja?"
Wanita yang memakai daster berwarna hitam, menengok, mengira salah bicara karena tak beberapa lama kekehan kecil keluar dari bibir Aksa.
"Den ini, ada-ada saja."
Pagi itu suasana hati Aksa membaik hanya dengan perbincangan dengan pembantu rumahnya. Bisa dibilang dia kesepian dan hanya Mak Ris yang jauh lebih memahami dari ibunya.
Setelah dia menyelesaikan sarapan, Mak Ris langsung membawa piring ke belakang. Sedang dirinya sibuk memesan ojek online. Mau bagaimana lagi. Ibunya tak memberi fasilitas motor atau mengantarnya. Beranggapan sudah dewasa dan mampu berangkat sendiri. Tak masalah memang, karena uang saku juga sudah dilebihkan.
Jam di pergelangan tangan berlari menuju jam tujuh. Namun, dengan ojek motor, dia akan tiba lebih cepat daripada menggunakan mobil.
"Mak, berangkat dulu." Aksa pamit ketika ojek yang dipesannya sudah sampai di depan rumah.
Di belakang, Mak Ris mengikuti hingga gerbang. Tak sampai setengah jam dan sudah sampai di sekolah. Beberapa menit sebelum satpam sekolah menutup gerbang.
Tak ada yang spesial dari kegiatannya di sekolah. Hanya belajar, mendengarkan teori dan mengerjakan soal. Jika pelajaran cukup membosankan, dia dan teman sekelas yang berada di barisan belakang akan menirukan gerak gerik ibu atau bapak guru yang tengah menulis di papan lalu cekikikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...