7

20 3 0
                                    

Biasanya Aksa akan memberikan coklat yang diterima pada teman-temannya. Namun, kali ini dia mengambil satu. Bukan karena dia menyukai gadis itu, melainkan menghargai kesopanan yang ditunjukkan. Tadinya dia sedikit kaget saat mendengar  permintaan izin untuk mengirimkan pesan padanya. Terdengar lucu dan ... sedikit aneh.

Sesampai di rumah, Aksa yang berniat ke kamar ditahan oleh Mak Ris.

"Aku sudah makan siang, Mak. Tadi di sekolah makan bakso."

"Bukan nasi, Den. Nanti gak kenyang. Atau mau cemilan?"

"Gak usah. Mau istirahat saja."

Mak Ris mengangguk paham dan Aksa bergegas ke kamar untuk istirahat. Setelah mengganti pakaian, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Nomor baru. Ingatan menuntun pada gadis yang baru ditemui tadi. Benar saja.

[Terima kasih, Kak. Sudah menerima hadiahku.]

Terima kasih, salah satu kata yang selama ini ingin didapatkan dari ibunya. Sederhana, nyatanya tak bisa dilakukan oleh semua orang. Dan dia mendapatkan hanya karena menerima hadiah. Konyol. Padahal selama ini sudah berapa kali ini mendapatkan ucapan terima kasih dari fansnya, tetapi tak ada satu pun yang membuatnya berkesan.

Baginya, menerima hadiah bukan sebuah perkara besar. Siapa sangka bagi gadis itu adalah sebuah hal yang menyenangkan. Selintas, dia jadi teringat dengan dirinya sendiri. Tak banyak yang diminta. Hanya ibunya menghargai hal kecil yang dilakukan. Termasuk pilihannya bermain basket.

Aksa memandang lama. Tangannya ragu untuk membalas hingga memilih menutup layar.

[Semangat untuk ujiannya, Kak.]

Sebuah pesan kembali masuk. Aksa hanya membaca sekilas. Tak ada keinginan membalas karena tak ingin memberi harapan lebih. Namun, hatinya menghangat. Ah, seandainya ibunya bisa memperlakukan selembut itu padanya. Tanpa diminta, dia akan memberikan yang terbaik.

Aksa merebahkan tubuh, tidur.

***

"Bagaimana ujiannya?" tanya Ibu Agni saat makan malam.

Aksa seolah bisa menebak apa yang akan menjadi perbincangan. Jika bukan ujian atau nilai. Tak ada lainnya. Dia tetap santai menyantap makan malam dengan menu tongseng kambing.

"Apa Ibu gak punya pertanyaan lain?"

Ibu Agni juga sudah bisa menebak kalau anaknya akan melawan. "Ibu hanya bertanya." Dia meletakkan sendok di piring dan memberikan tatapan sebagai wujud perhatian.

"Aku juga hanya bertanya. Apakah sememalukan itu mempunyai anak yang gak pintar?" Aksa sengaja menyindir dengan mode santai. Biar saja.

Biasanya Ibu Agni akan membalas, hingga terjadilah perdebatan yang tak kunjung usai. Namun, kali ini tidak. Dia terus memperhatikan wajah sang putra tanpa berniat menghabiskan makan malamnya.  Wajahnya yang biasa tegas, kini terlihat sendu.

Suasana hening. Aksa dibuat keheranan dengan sikap diam ibunya, tetapi juga tak berniat menanyakan mengapa. Mengira tengah memikirkan sindirannya.

"Jadi kapan pengambilan raport?"

Aksa berharap, topik pertanyaan ibunya akan berganti. Nyatanya tidak. Dia mendongak dengan mimik wajah yang sulit percaya lantas meletakkan sendok di atas piring. Harapannya yang terlalu tinggi. "Apakah Ibu gak bisa, sehari saja ... menanyakan hal di luar nilai, ujian atau hal yang berhubungan dengan pendidikan?" Dia beranjak bangkit, meninggalkan makan malam yang masih tersisa beberapa kali suapan.

"Jadi Ibu harus bertanya apa? Apa kabarmu hari ini? Apa kamu sudah makan? Bukankah hal itu gak perlu ditanyakan." Ibu Agni tak habis pikir. Memang apa salahnya dia menanyakan mengenai pengambilan raport?

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang