Aksa memegang sudut bibir kanannya yang pecah. Sialan. Bisa panjang urusan jika sampai ketahuan ibunya.
Sedang lelaki yang menyeringai itu puas sudah berhasil membalaskan rasa sakit hatinya. Ya, dia adalah kapten tim basket yang berhasil dikalahkan Aksa. Sebagai lawan yang selalu ditumbangkan, tentu membuatnya kesal. Karena tak hanya sekali, tetapi sudah terlampau sering. Di lapangan dia bisa berlapang dada, tetapi tidak saat berada di luar.
"Kenapa? Bales! Emang gue pikir takut ama lo."
Aksa diam, tak ingin menanggapi. Tak terbersit pikiran untuk membalas. Beruntung ojek yang dipesannya menelpon dan menghampiri. Menanyakan siapa di antara mereka yang memesan. Tanpa berniat meladeni, dia langsung meninggalkan tempat. Meski telinganya masih mendengar sumpah serapah yang ditujukan padanya.
Motor melaju pergi. Dari sudut mata, dia masih bisa melihat lelaki itu menatapnya kesal. Apa pedulinya?
Sembari memegang bibirnya, dia menahan sakit dan perih. Harapannya sekarang agar ibunya belum pulang. Kalau perlu tak pulang sekalian agar tak berhadapan saat makan malam. Karena telinganya sedang tak ingin mendengar omelan. Ya, walau terkadang ada yang mengatakan sebagai bukti cinta orang tua. Terkadang, dia tak paham mengapa dari kecil hingga sekarang tak berhenti melakukannya. Padahal semua sudah diusahakan untuk dituruti keinginan. Apalagi selalu diiringi dengan perbandingan dengan kakaknya.
Sesampai di rumah, dia segera membayar dan masuk ke rumah. Alangkah terkejutnya Mak Ris saat membukakan pintu, melihat wajah anak majikannya dalam kondisi yang memprihatinkan. Walau sudah ditutupi menggunakan hoodie warna putih, tetap saja memar yang tercipta begitu kentara.,
"Kenapa Den? Den berkelahi?"
Aksa berjalan menuju tangga, tetapi dicegah oleh Mak Ris.
"Duduk dulu, Den. Biar diobati."
"Gak usah, Mak."
"Jangan Den. Nanti Ibu marah."
"Ibu gak bakal marah kalau gak lihat." Aksa masih saja mengelak.
Namun, Mak Ris terus membujuk hingga berhasil meyakinkan, barulah Aksa mau menurut, duduk di ruang makan.
Mak Ris mengambil air dingin dalam baskom berwarna hijau lalu menyeka bibir Aksa dengan kain yang diambil di kotak P3K.
Aksa meringis, menahan sakit.
"Siapa yang jahatin Den lagi?"
"Jatuh kok Mak tadi pas latihan basket."
Mak Ris menghentikan aktivitas sejenak setelah mendengar jawaban. Ya, dia tahu anak majikannya berbohong. Sudah sangat hafal dengan gestur yang ditunjukkan. Namun, bagaimanapun dia hanya seorang pembantu. Tak sopan rasanya harus menelisik lebih dalam. Hanya naluri seorang ibu yang terkadang menuntun memberi sedikit perhatian.
Dia lebih memilih diam. Tak menanyakan lebih lanjut. Sedang tangannya bergerak mengusap sisa darah di sudut bibir Aksa yang mulai mengering.
"Ya, sudah Den istirahat saja. Tadi sudah makan belum?" Mak Ris meletakkan kain ke dalam baskom dengan pandangan tertuju pada iris hitam Aksa. Mencoba mencari kejujuran yang menghilang sejak lama.
"Sudah Mak." Aksa menjawab ala kadarnya. Dia ingin lekas di kamar. Istirahat. Tak mau ditanya-tanya lebih dalam.
"Sudah kok perutnya bunyi, Den. Makan dulu, ya?" Mak Ris kembali membawa baskom ke belakang.
Aksa menggaruk tengkuk yang sama sekali tak gatal, menahan malu karena ketahuan. Dasar! Perut tak bisa diajak kerja sama.
Tak ingin membuat Aksa menunggu lebih lama, Mak Ris hanya meletakkan baskom dekat wastafel. Bergegas mengambil nasi, beberapa lauk juga sayur yang sudah disiapkan sebelumnya. Menu sederhana. Sop dengan isian penuh brokoli, ayam goreng, tempe, udang juga sambal. Menu favorit Aksa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...