16

27 5 0
                                    

[Mau makan dengan apa?]

Sebuah pesan masuk ke ponsel Aksa. Dia bergeming sesaat lantas mengucek mata, membaca dari siapa yang mengiriminya pesan. Benar. Matanya tak salah melihat. Ibunya baru saja menanyakan hal di luar dugaan.

Dia heran. Untuk apa ibunya menanyakan hal sepele? Biasanya urusan makan sudah didelegasikan pada Mak Ris. Dia dituntut untuk menerima segala yang disuguhkan. Lagipula ibunya tak pernah sekalipun turun ke dapur. Tentu saja alasan paling utama, sudah lelah.

Tangan tertahan untuk membalas pesan. Otaknya berpikir jawaban apa yang harus diberikan. Saking bingungnya, dia menulis lantas menghapus kalimat berulang.

[Mumpung Ibu cuti, akan kumasakkan untukmu.]

Terjawab sudah. Untuknya? Ah, rasanya hangat sekali kalimat yang baru saja dibaca membuat senyum tipis tersungging di bibir Aksa.

[Apapun. Aku gak pilih makanan.]

Sebuah pesan sudah terkirim dan dia masih menunggu balasan. Mungkin bagi sebagian anak, pertanyaan seperti ini membuat risih. Namun, tidak baginya. Memang terkesan basa-basi, tetapi penuh perhatian juga cinta. Harapan bahwa dia akan diperhatikan layaknya sang kakak.

[Ibu tunggu di rumah.]

Aksa tak tahu bagaimana mendeskripsikan perasaannya sekarang. Bahagia, tentu saja.

"Heh, senyum-senyum sendiri. Bisa jatuh cinta juga kamu." Bu Guru Eni, wanita penjaga perpustakaan datang mengagetkan. Dia berdiri di samping meja dengan buku di tangan, melirik isi pesan.

Aksa buru-buru mematikan layar.

"Jadi penasaran, tipemu seperti apa."

Aksa yang duduk di pojok perpustakaan sembari melihat pemandangan dari lantai dua, sontak mengalihkan pandangan. Menjelaskan juga percuma. Padahal dia bukan kasmaran, tetapi bahagia dengan kemajuan hubungannya dengan sang ibu yang bisa dibilang menghangat.

Setiap istirahat Aksa memang lebih memilih istirahat di perpustakaan. Tak akan ada rekan tim yang mengira dirinya memilih perpustakaan sebagai pelarian. Lelaki mana yang betah duduk seharian dengan aroma buku yang memuakkan, kecuali kutu buku.

Bu Eni berlalu pergi, menuju rak untuk menata buku-buku yang baru saja dikembalikan lalu kembali lagi. Saat melewati Aksa, dia teringat sesuatu dan bertanya, "Bagaimana pertandingannya?"

"Sebentar lagi final."

Wanita itu manggut-manggut paham. "Kudengar, kamu dijadikan tim cadangan. Apa itu benar?"

Aksa mengangguk, membenarkan.

"Pertandingan berikutnya kamu pasti bisa menjadi kapten lagi." Wanita itu menepuk bahu seolah menegarkan sebelum berlalu ke tempatnya.

Aksa sendiri diam, memikirkan ucapan Ibu Eni. Entahlah. Pertandingan berikutnya, dia tak yakin kemampuannya sudah kembali seperti sedia kala. Apalagi dia belum menyetujui opsi biopsi untuk tindakan selanjutnya. Bisa jadi malah semakin memburuk jika tak segera mengatakan pada ibunya dan yang lebih mengerikan adalah kematian. .Jika memaksakan untuk tetap berada di tim, dirinya hanya akan menjadi beban.

Pandangan Aksa beralih ke luar jendela. Rumah-rumah penduduk juga pepohonan yang bergoyang diterpa angin. Sepuluh menit lagi waktu istirahat akan berakhir dan Aksa memutuskan kembali ke kelas.

Baru juga menarik tas ransel, badge kapten terjatuh. Sontak dia mengambil dan menatap Fandi yang kebetulan baru saja masuk ke kelas dengan cilok pesanannya.

"Kenapa ini ada di laci gue?" tanya Aksa seraya memperlihatkan badge kapten pada Fandi.

"Sa, anak-anak sepakat. Posisi kapten akan tetap jadi milik lo."

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang