Aksa sudah bersiap untuk pergi. Dia duduk di ruang makan. Memakai hoodie berwarna oranye dengan celana jeans. Tas ransel berisi kaos untuk dua hari ke depan, diletakkan di meja. Sedang dirinya tengah membalas pesan dari rekan tim basket jika tidak bisa ikut bergabung untuk latihan.
Setelah balasan diterima, dia melihat pesan yang diabaikan beberapa hari ke belakang. Pesan dari gadis yang masih saja memberi perhatian. Sungguh dia tak ingin mengabaikan karena tahu rasanya, tetapi sisi lain hanya tak ingin memberi harapan. Bukankah sejak awal gadis itu juga tak berminat dengan balasan? Bukan salahnya tak merespon. Toh, dia sudah mengatakan sejak awal.
Baru juga memasukkan ponsel ke dalam saku hoodie, Ibu Agni keluar. Membawa koper kecil. Dia terpaku sesaat melihat Aksa menatapnya sebelum membuang muka.
Sejenak Ibu Agni hendak mengeluarkan kalimat, tetapi diurungkan. Mengingat lawan bicara adalah Aksa yang bisa membuat pertanyaan menjadi perdebatan. Jadi dia hanya memandangi anaknya dari atas ke bawah. Lalu tersadar putranya sudah sangat tinggi ketika berdiri seraya menenteng tas ransel. "Apa hanya itu yang kamu bawa, Sa? Apa itu cukup?"
"Cuma dua hari, lagipula aku bukan wanita yang harus membawa alat make up." Aksa menjawab seraya melangkah keluar rumah.
Ibu Agni tersenyum, tipis. Meski ucapan sarkas tetap dilontarkan, nyatanya intonasi suara Aksa tidak seperti biasa yang memakai urat.
"Biar saya bawa, Bu." Mak Ris mengambil alih koper Ibu Agni lalu membawa ke mobil. Dia menyimpan di bagasi bersama dengan tas ransel Aksa.
Saat masuk, Aksa sudah duduk dengan pandangan ke luar jendela. Seperti enggan untuk bersitatap dengan ibunya.
"Mampir ke toko kue biasa, Pak," ucap Ibu Agni ketika mobil mulai menjauh dari kediaman.
Suasana di dalam mobil begitu hening. Aksa lebih memilih menikmati pemandangan yang berisi padatnya lalu lintas. Sesekali pandangannya tertuju pada pengendara motor yang membawa hangat canda tawa ketika berhenti di lampu lalu lintas. Hal yang membuat iri karena keakraban yang tak pernah didapatkan sejak beberapa tahun silam. Dulu, dia berpikir jika menuruti segala kemauan. Sikap ibunya akan menghangat, nyatanya tidak.
Ibu Agni melirik putranya. Ingin membuka percakapan, tetapi bingung harus memulai dari mana. Yang ada dia berulang kali melihat ponsel untuk mengalihkan kecanggungan hingga mobil berhenti di sebuah toko kue di sebuah ruko.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pada Aksa, Ibu Agni keluar untuk mengambil kue pesanan. Begitu kembali, mereka segera melanjutkan perjalanan.
Hampir satu jam, akhirnya mereka tiba di sebuah cottage dengan view laut. Saat keluar mobil, angin beraroma asin langsung menyambut kedatangan.
Pak Tomo mengeluarkan koper juga kue yang tadi dibeli Ibu Agni. Lumayan banyak.
"Biar kubawa sendiri tasnya." Aksa menolak ketika Pak Tomo hendak mengambil tas ranselnya.
Ibu Agni menunggu hingga Aksa mendekat, lantas mereka berjalan menuju resepsionis. Memastikan sudah bisa check in.
"Jaga sikapmu! Jangan membuat masalah," ucap Ibu Agni setelah memastikan kamar sudah bisa dibersihkan. Mereka berjalan menuju cottage yang sudah dipesan.
Aksa membuang muka. "Sudah kubilang, seharusnya Ibu berangkat sendiri."
"Apa kamu gak suka pergi dengan Ibu?"
"Sepertinya yang gak suka adalah Ibu. Buktinya baru datang sudah menasehati agar aku gak membuat masalah."
Ibu Agni menghentikan langkah. Bukan! Bukan dia tak suka. Hanya saja peristiwa beberapa bulan silam masih terbayang. Saat Aksa tersulut amarah dengan sepupunya. Memang belum terjadi perkelahian, tetapi hal itu cukup membuatnya murka. "Bagaimana Ibu gak menasehatimu, jika terakhir kamu hampir saja membuat masalah." Dia menatap lembut Aksa. Berharap paham tentang kekhawatirannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...