"Bu, bisakah datang ke pertandinganku besok?" tanya Aksa begitu dipersilahkan duduk di ruang kerja ibunya.
Agni, wanita kurus yang memakai kacamata itu mendongak sesaat ketika mendengar permintaan. "Jam berapa?" Dari nada suara, ada keengganan untuk menanggapi.
"Sekitar jam sembilan, di Gor Waringin, Bu."
Bukannya menatap anak lelakinya yang meminta penuh harap, Agni justru sibuk dengan jadwal acara di ponselnya. "Ibu gak janji, tapi akan kuusahakan."
Senyum langsung terbit mendengar jawaban. lelaki bermata sipit itu berdiri dengan wajah semringah. "Makasih, Bu."
"Ibu bilang akan mengusahakan, jadi jangan banyak berharap jika akan datang." Walau tengah berbincang dengan anak lelakinya, tak ada kontak mata di antara keduanya. Pandangan sang ibu terkunci pada ponsel di tangan. Bahkan tak ada kegembiraan atau antusiasme mendengar permintaan.
"Gak pa-pa. Ibu sudah mengusahakan itu sudah lebih dari cukup." Atmosfer ruangan yang tadinya begitu menghimpit kini terasa melegakan bagi Aksa. Walau bukan sebuah janji yang pasti setidaknya, sang ibu berusaha mencari waktu untuknya. Itu sudah lebih dari cukup.
Sebuah dehaman menjadi jawaban. Aksa segera keluar ruangan berukuran 6x7 meter, tak mau mengganggu kesibukan ibunya yang bekerja keras demi dirinya sebagai single parents.
Begitu tiba di kamarnya yang berada di lantai dua, dia segera menyambar ponsel dan mencari nama Arga.
'Kak, kapan pulang?'
Sebuah pesan sudah terkirim untuk kakaknya. Tak lama bercentang biru, tetapi tak ada balasan. Sudah tak terhitung berapa banyak pesan sejak beberapa tahun yang lalu. Namun, hingga sekarang tak pernah ada jawaban.
Senyum yang sedari tadi menghiasi wajah Aksa, perlahan terurai. Dilemparkan ponsel ke sembarang arah, tak lama matanya terpejam.
***
Riuh suara penonton menggema di dalam stadion Waringin ketika para pemain basket saling berebut bola. Suara decitan sepatu yang beradu dengan lantai terdengar berulang. Tak lupa bunyi peluit saat para pemain melakukan pelanggaran atau berhasil menambah angka.
Aksa terengah-engah mengatur napas saat istirahat. Lengannya menyeka keringat yang terus membasahi pelipis juga dahinya. Sedang sesekali ekor mata terus menyisir tribun, mencari keberadaan ibunya. Tak ada. Ya, walau sudah diperingatkan untuk tak terlalu berharap, nyatanya hati menginginkan kehadiran.
"Minum dulu, nih." Firdaus menyodorkan minuman kemasan lalu menepuk bahu Aksa yang tersenyum secara paksa.
"Kita harus memenangkan final ini. Kasih aku umpan, ngerti?" Aksa memberi arahan. Setelah meneguk minuman, dia lekas berdiri dan masuk ke lapangan. Peluit tanda babak terakhir pertandingan sudah berbunyi.
Dalam waktu singkat suara riuh penonton kembali memenuhi stadion setelah jump ball. Apalagi saat pertambahan angka yang membuat perolehan skor semakin melebar. Hingga akhirnya peluit tanda pertandingan berakhir, berbunyi. SMA Turi berhasil menyabet gelar juara pertama.
Aksa berpelukan dengan rekan satu timnya. Mengungkapkan syukur untuk usaha lalu pandangan kembali menyapu stadion. Ibunya duduk di barisan penonton dengan ponsel di tangan. Ah, kapan datang? Kenapa dia tak menyadarinya? Lalu senyum merekah sempurna.
Setelah bersalaman dengan lawan, Aksa dan rekan satu tim menerima piala. Mereka bersorak untuk kemenangan kesekian. Tak lupa diiringi sesi pemotretan.
"Bisakah kita berfoto bersama, Bu?" pinta Aksa mendekat seraya membawa piala ketika ibunya turun. Wajahnya berbinar dengan senyum lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...