11

24 4 0
                                    

Aksa menggeliat ketika mendengar suara ketukan di pintu. Masih setengah sadar, dia menjawab dengan ogah-ogahan.

"Den, Ibu mengajak makan." Mak Ris meminta dari seberang tembok.

"Hmm." Aksa bangkit dari tidur dengan susah payah.

Apa yang terjadi? Jam berapa sekarang? Sudah berapa lama dia tidur?

Duduk di tepi ranjang, Aksa melihat jam dinding. Jam tujuh. Apakah sekarang pagi atau malam? Jendelanya tertutup gorden, jadi dia tidak bisa membedakan

Sial! Kepalanya sakit.

Saat mencoba berdiri, tubuhnya limbung karena lemas. Mau tak mau harus meraba tembok untuk sampai kamar mandi.

Kenapa sekarang perutnya bergejolak? Belum sampai di toilet, dia sudah lebih dulu muntah. Tak hanya sekali, tetapi berkali-kali. Aroma yang sangat menyengat langsung memenuhi ruangan.

Aksa mencoba mempertahankan kesadaran. Dia menyeret tubuhnya menuju shower untuk membersihkan diri.

Setengah jam, Aksa mandi lantas keluar sembari mengeringkan rambut dengan handuk. Dia yang kini sudah di kamar melihat botol wine masih berada di nakas. Seketika teringat kejadian semalam.

Pada akhirnya, gosip memang sebuah fakta yang tertunda. Dia sudah tahu dari awal dan masih menuntut penjelasan. Bodohnya. Masih beruntung tak digugurkan dan diberi penghidupan yang layak hingga sekarang. Entahlah. Apa itu sebuah keberuntungan atau kesialan, karena di punggungnya terdapat cap yang sangat menjijikkan dan tidak akan pernah hilang. Namun, di dunia ini bukan hanya dia yang menyandangnya, jadi setidaknya tak terlalu mengenaskan.

Dia membuka lemari, mendapati kaos yang dibelikan ibunya beberapa hari silam. Tak ada rencana mengenakan, justru mengambil yang lain.

"Den, Ibu masih menunggu." Suara Mak Ris kembali terdengar.

Aksa seolah bisa menduga. Walau semalam terjadi perdebatan, sudah pasti tak akan ada yang berubah. "Iya, Mak. Sebentar turun."

"Iya, Den. Jangan lama-lama. Ibu khawatir."

Mendengar ucapan Mak Ris, Aksa sedikit tercengang. Meski begitu dia menanggapi dengan senyum sinis.

Khawatir? Karena apa? Mak Ris pasti hanya melebih-lebihkan.

"Iya, Mak."

Aksa berjalan ke arah jendela lantas membuka sedikit gorden. Ternyata sudah malam. Itu berarti dia sudah tidur seharian. Pantas lemas dan perutnya keroncongan setelah muntah.

Menghela napas panjang, dia bergegas turun. Duduk saling berhadapan dengan ibunya, Aksa berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Toh, memang sejak awal sudah tahu. Hanya memastikan kabar burung tak akan menghasilkan apapun, kecuali menambah sakit hati. Memang lebih baik tak mencari tahu. Namun sekarang, dia tak ingin memperpanjang bahkan menanyakan ayahnya yang sebenarnya. Biar saja. Setidaknya sang ibu masih bertanggung jawab padanya.

Di meja, terdapat kompor kecil yang tengah memanaskan kuah steamboat. Di sampingnya berjajar potongan daging, pokcoy, jamur enoki, tahu, bakso juga beraneka suki. Aromanya sangat menggugah selera.

Aksa langsung mengambil dan memasukkan apa yang ingin dimakan. Pilihannya jatuh pada daging slice, bakso dan pokcoy. Tak lama dia mulai makan tanpa sepatah kata. Biar saja mendapat teguran karena tak menerapkan tata krama.

Sedang Ibu Agni hanya memperhatikan anaknya. Dia sama sekali tak berminat memulai perbincangan. Sepertinya membiarkan Aksa mengisi perut hingga kenyang jauh lebih utama. Apalagi setelah mendapat laporan jika anaknya belum sarapan juga makan siang selepas mabuk semalam.

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang