8

19 2 0
                                    

Suara ketukan di pintu, membuat Aksa yang tengah berbalas pesan sontak menghentikan aktivitas. Seolah tahu siapa yang berada di seberang tembok, dia bangkit.

"Den, dipanggil Ibu," kata Mak Ris ketika Aksa membuka pintu.

"Oh, sudah pulang."

"Iya, Den."

"Iya, sebentar."

Aksa menutup pintu setelah Mak Ris berlalu turun. Dia menghela napas seolah tahu apa yang akan terjadi. Omelan. Kenapa? Karena pagi ini adalah penerimaan raport.

Ini memang bukan kali pertama dia harus berhadapan dengan ibunya setelah penerimaan raport. Hampir setiap semester. Perbincangan juga sudah pasti sama. Apalagi kalau bukan tentang nilai. Jika turun, sudah pasti bisa satu jam dia harus menerima omelan hingga kupingnya panas. Begitu pula jika nilainya naik. Bukan sebuah apresiasi, melainkan sindiran karena nilai yang diberikan belum memuaskan.

Sejak kecil hingga SMP, dia memang tidak pernah memberontak. Omelan ibunya membuatnya bersemangat untuk mendapatkan lebih dan lebih untuk membuktikan jika dia bisa seperti kakaknya. Puncaknya adalah saat kelulusan SMP. Di mana dia gagal mempersembahkan gelar juara umum yang menyebabkan ibunya murka. Padahal dia hanya mengharapkan sebuah pemakluman. Tak banyak.

Lalu selepas masuk SMA, Aksa mulai berontak. Tuntutan yang diterima semakin tidak masuk akal. Maka, melayangkan sindiran pedas terus dilakukan hingga sekarang. Herannya, sang ibu tetap saja tak paham.

Aksa membuka pintu, turun menemui ibunya di kamar.

"Duduk!"

Aksa duduk sesuai perintah. Tak ada ketakutan tergambar di wajah. Justru kesiapan menyanggah segala pertanyaan. Kini dia berhadapan dengan ibunya.

Ibu Agni melihat nilai yang tertulis di raport lantas menatap Aksa.

"Apa kamu punya pacar sekarang?" tanya Ibu Agni seraya menutup raport. Dia menatap lekat wajah Aksa yang menampakkan keterkejutannya.

Aksa berusaha menguasai keadaan, hanya beberapa detik saja. Dia masih tak menduga dengan pertanyaan pertama ibunya. Tak seperti biasa. "Aku gak mau menjawabnya."

Ibu Agni menghela napas. "Paper bag yang kamu bawa tempo hari, dari dia bukan?"

Aksa tertawa kecil. Dia memang menginginkan percakapan normal antara ibu dan anak. Namun, mengapa mendadak menanyakan pacar hanya karena mendapat paper bag? Masalah apa lagi sekarang?

Dia menghela napas. Membiarkan ibunya menanti kejelasan. Bukan! Yang benar mengeluarkan praduga yang bisa memicu perdebatan. Sudah beberapa hari mereka saling diam. Sekarang, dia berpikir jangan-jangan bahasa cinta ibunya adalah membuat masalah dengannya? "Aku gak akan menjelaskan karena pada akhirnya Ibu tetap mengedepankan praduga."

"Jadi dia alasanmu menolak permintaan Ibu untuk ikut les? Agar bisa bertemu selepas pulang sekolah?"

Nah, benar kan.

Sekarang Aksa semakin bingung untuk mengurai simpul masalah. Menjelaskan juga percuma. Tak ada kebenaran yang akan diterima oleh ibunya. "Memang kenapa, Bu? Apa hal itu juga sebuah kesalahan?"

"Tentu saja! Hal bodoh seperti itu akan mempengaruhi pendidikanmu!"

Aksa seharusnya tahu ke mana arah pembicaraan. Tentu karena bermuara pada nilai ujiannya. "Bodoh? Setidaknya gadis itu jauh lebih perhatian, gak seperti Ibu. Yang selalu menuntut tapi gak pernah memahami posisiku."

Tak terima Ibu Agni langsung menggebrak meja. "Bagian mana Ibu gak memahamimu, Aksa?"

"Jika Ibu memang memahamiku, seharusnya Ibu mendukung. Membiarkan melakukan apa yang kusuka. Bukan terus memaksa untuk menjadi seperti Kakak!"

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang