Aksa menyodorkan amplop pada Mak Ris dan Pak Tomo. Mereka duduk saling berhadapan di ruang tamu.
"Untuk apa ini Den?" tanya Pak Tomo membuka percakapan. Sedari tadi dia menunduk, kini dia mendongak, ingin mengetahui maksud pemberian.
"Bapak tahu sendiri, Ibu sudah meninggal. Saya hanya sendiri dan masih sekolah. Gak mungkin bisa menggaji Bapak juga Mak Ris." Dia menjeda kalimat dan diam untuk beberapa saat. "Maaf, saya tidak bisa memakai jasa Pak Tomo juga Mak Ris."
Mak Ris langsung menatap Aksa. Ada ketidakrelaan dari sorot tuanya. Sekian tahun mengabdi, tentu bukan perkara mudah.
"Saya gak tau berapa pesangon yang pantas, tapi saya harap Pak Tomo juga Mak Ris bersedia menerima."
Pak Tomo dan Mak Ris saling berpandangan, seolah tengah bercakap lewat sorot mata.
"Den Aksa gak perlu melakukan -"
"Tolong diterima, Mak," ucap Aksa setengah memaksa. Dia tahu baik Mak Ris maupun Pak Tomo sudah bekerja sejak dirinya kecil dan mempunyai jasa yang cukup besar. Rasanya tak etis memberhentikan dari pekerjaan tanpa memberi uang pesangon. Apalagi keputusan yang diambilnya juga mendadak.
Memang tak seberapa yang diberikan, mengingat Aksa mengambil uang tabungan miliknya.
"Nanti Den bagaimana?"
"Aku gak pa-pa, Mak. Kakak bilang akan pulang dalam waktu cepat." Demi menenangkan Mak Ris dan Pak Tomo, Aksa terpaksa berbohong. Dia bahkan tak tahu apakah kakaknya akan pulang atau tidak. Sampai sekarang, tak ada kabar yang diterima. "Nanti kalau memang aku akan menggunakan jasa Mak juga Pak Tomo, aku pasti kabari lagi."
Susah payah Aksa tersenyum paksa agar aktingnya lebih meyakinkan dan tidak membuat khawatir.
Mak Ris dan Pak Tomo saling berpandangan. Ada keengganan untuk melaksanakan perintah. Bukan karena uang atau pekerjaan, tetapi kepedulian.
"Kalau begitu biar Mak tunggu sampai Mas Arga pulang. Mak gak tega ninggalin Den sendirian."
"Iya, Den. Gak usah mikirin pesangon segala. Yang penting Den gak sendirian."
"Terima kasih, tapi aku sudah mulai terbiasa."
Lagi dan lagi. Aksa memupuk kebohongan. Bohong rasanya jika mengatakan mulai terbiasa. Nyatanya beberapa hari, dia didekap kesepian juga kehampaan yang luar biasa. Hari-hari hanya datang ke makam, hingga dirinya ditampar kenyataan bahwa tak mempunyai penghasilan. Mau tak mau dia harus membuat keputusan untuk memberhentikan Mak Ris juga Pak Tomo.
Mak Ris menyeka air mata yang mendadak meluncur bebas di wajah. "Kalau begitu, biar Mak isi kulkasnya dulu."
"Biar Bapak isi dulu bensinnya. Siapa tahu Den mau memakai mobilnya." Pak Tomo mengikuti Mak Ris pergi.
Belum sempat menolak, Mak Ris juga Pak Tomo sudah berlalu keluar rumah. Aksa bergeming di ruang tamu. Setelah beberapa saat, barulah dia pergi ke kamar ibunya yang sudah beberapa hari menjadi tempat istirahatnya.
Dia berjalan menuju ranjang. Beristirahat dan terbangun saat mendengar suara ketukan Mak Ris yang membangunkan untuk makan siang.
"Mak sudah masakin buat Den Aksa. Nanti dimakan, ya."
Pandangan Aksa beralih ke meja makan. Sudah tersedia menu makan siang yang baginya cukup banyak untuk satu orang.
"Bapak juga sudah mengisi bensin."
Aksa menatap Pak Tomo dan Mak Ris bergantian. Terharu untuk perhatian yang diberikan hingga hari terakhir kerja.
"Kalau begitu ... bisa temani aku makan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...