4

27 3 0
                                    

Aksa sudah bersiap ke sekolah, seragam sudah melekat di badan. Namun, ada keengganan yang menggelayuti. Sejenak, dia hanya menatap pantulan dirinya di cermin lemari. Wajahnya terlihat kuyu seolah sudah seminggu mengalami insomnia. Padahal yang terjadi karena jadwal tidurnya yang mendadak berantakan. Apalagi pertengkaran semalam dengan ibunya membuatnya tak bisa tidur nyenyak. Namun, jiwanya juga lelah dengan segala tuntutan yang semakin hari gak masuk akal.

Dipijit pelipisnya. Ah, sakit lagi kepalanya. Sekarang pasti efek amarah yang meletup-letup dan mengakibatkan tak bisa memejamkan mata. Hingga harus mandi di bawah guyuran shower untuk meredam gejolak yang memanas.

"Sial, mau sampai kapan?" tanyanya pada keheningan. Dia meremas rambutnya kesal. Seolah sudah berada di ambang batas lelah.

Setelah berulang kali menenangkan diri, disambar tas ranselnya, keluar. Menapaki tangga demi tangga, sudut mata menangkap ibunya tengah duduk di ruang makan. Tumben.

Walau dia menginginkan keberadaan ibunya untuk sarapan bersama. Kali ini dia menolak, tegas. Biar saja lapar jika harus dijejali omelan. Belum sarapan saja sudah kenyang duluan.

Aksa tak minat berbelok menuju ruang makan, tetapi melenggang pergi. Mengabaikan keberadaan ibunya yang menyadari dan meletakkan ponsel di meja.

"Mau ke mana?"

Aksa tak menjawab dan terus berjalan.

"Aksa!"

"Berangkat." Aksa menghentikan langkah sesaat hanya untuk menjawab, lantas pergi lagi.

"Duduk!"

Langkah Aksa kembali tertahan mendengar perintah. Seharusnya senang, nyatanya dia justru menghela napas. Menegarkan diri untuk kemungkinan terburuk yang harus dihadapi. Mau tak mau dia memutar tubuh. Ikut bergabung di meja makan. Setelah ibunya mengambil sarapan, barulah dia menyendok nasi ke piringnya.

Suasana begitu canggung. Aksa lebih memilih diam dan mengunyah dengan cepat. Ingin menghindari perbincangan dengan ibunya dengan pola yang sama.

Sedangkan Ibu Agni mencuri lihat anak lelakinya yang sama sekali tak buka suara. Tak seperti saat masih duduk di bangku SD atau SMP yang tanpa diminta, akan menceritakan segala sesuatunya. Ah, sepertinya efek puber atau mungkin masih kesal dengan ucapannya semalam. Dia tak berminat meminta maaf. Buat apa? Tak ada yang salah. "Biar Ibu antar."

Tangan Aksa yang tengah menyuap, seketika terhenti. Sesaat. Apa dia gak salah dengar? Mengantarnya? Buat apa? Mau tanya ke wali kelas atas dugaan perkelahian? Lalu memarahinya habis-habisan?

Diletakkan sendok di atas piring dan seleranya menguap. "Gak usah. Kata Ibu aku sudah cukup dewasa untuk berangkat sen--"

"Gak usah membantah!" Ibu Agni meletakkan sendok, menatap lekat Aksa sebelum menyudahi sarapan. Setelah mengelap bibirnya yang menyisakan sedikit air akibat menyeruput jus buah, dia mengambil tas tenteng berwarna putih. "Ibu tunggu di mobil."

Aksa meletakkan sendok dengan kasar hingga menimbulkan dentingan yang cukup keras. Seenaknya saja! Haruskah dia selalu menuruti perintah walau tak suka? Mentang-mentang orang tua, seenaknya saja sendiri menyuruh. Egois

Langkah Ibu Agni terhenti sesaat. Dia menengok anak lelakinya yang menyandarkan punggung ke kursi karena kesal. Namun, suara ponsel menyadarkan jika harus bergegas.

Dengan ogah-ogahan Aksa bangkit begitu suara sepatu high heels ibunya hilang dari pendengaran. Berjalan menuju mobil SUV berwarna merah. Namun, bukannya lekas membuka, dia justru berdiri mematung. Ada keengganan untuk memenuhi keinginan. Jika bukan karena tatapan maut ibunya yang mengisyaratkan untuk lebih cepat, dia tak akan masuk untuk duduk bersama.

Tak lama roda sudah berputar meninggalkan kediaman yang berada di kompleks perumahan Mutiara Gading, Sleman. Aksa memilih melihat pemandangan dari jendela. Walau dari pantulan kaca, matanya menangkap sosok sang ibu yang berkharisma. Dengan blazer berwarna putih, celana kain kuning tua. Wajahnya dihiasi dengan make up tipis yang menambah kesan wibawa.

"Kapan ujian?" tanya Ibu Agni yang langsung mematikan layar ponsel ketika bertanya. Walau tak ada kontak mata, setidaknya dia berusaha tak mengabaikan keberadaan anak lelakinya.

Aksa mendengkus. Tak adakah perbincangan lainnya, kecuali ujian, nilai dan tetek bengek yang berujung pada pendidikan atau sekolah? Sangat menyebalkan.

"Seminggu lagi." Walau kesal, dia tetap menjawab. Menghormati ibunya sebagai wanita yang telah berkorban banyak untuknya.

Mobil berhenti di rambu lalu lintas dan Ibu Agni sontak menoleh, melihat wajah anak lelakinya dari pantulan kaca.

"Ibu harus mencarikanmu guru privat."

Sekarang Aksa mulai kesal. Dia menoleh pada ibunya hingga bersitatap sebelum klakson dari belakang menyadarkan untuk lekas melajukan kendaraan. "Buat apa Bu? Ibu gak yakin dengan kemampuanku?"

"Apa Ibu mengatakannya?"

"Ibu memang gak mengatakannya, tetapi ucapan Ibu seakan meragukan kemampuanku mengerjakan soal."

"Itu berarti pikiranmu yang terlalu picik."

Aksa kehilangan kata-kata untuk membalas. Dia terdiam sesaat untuk menolak keinginan ibunya. "Gak usah! Aku masih bisa mengerjakannya."

"Jadi kamu menolak niat baik Ibu?"

"Ya." Aksa menjawab tanpa keraguan lantas membuang muka.

"Kenapa?"

Aksa tertawa kecil. Bahunya sedikit bergetar dengan pertanyaan lucu yang seharusnya tak usah diutarakan. "Kenapa? Tentu saja karena apa yang Ibu lakukan itu bukan kebaikan, tetapi sebuah obsesi menjadikanku seperti Kakak."

Giliran Ibu Agni yang bungkam. Memang benar yang dikatakan. Memang apa salahnya? Bukankah sesuatu hal yang positif memang patut dicontoh? Kenapa harus marah? "Memangnya kenapa? Apa itu sesuatu yang salah?"

Aksa mendengkus, kesal. Ingin mengalah, tak bisa. Ingin memenangkan, ibunya justru semakin tertantang menaklukkan. "Tentu saja salah. Karena Ibu gak melihat aku. Yang Ibu lihat hanya Kakak!"

Pak Tomo, sopir pribadi Ibu Agni menahan batuk dengan berdeham. Berharap suasana dalam mobil sedikit berkurang ketegangan. Sejak beberapa bulan tak ada kedamaian. Sang anak yang dulu penurut semakin lama berani memberontak, tentu karena hormon remaja yang tengah mencari jati diri. Sedang sang ibu adalah wanita yang tak bisa dibantah. Memaksa anak lelakinya untuk patuh seperti halnya kakaknya.

"Ibu melihatmu! Kamu berpotensi untuk seperti Kakakmu."

Aksa menggeram. Mulutnya lelah mencari pembelaan akan dirinya, karena semua berujung lagi pada Arga. Kakaknya.

Kesal karena upayanya akan sia-sia, dia memilih mengalihkan pandangan ke luar jendela. Menikmati hijaunya pepohonan sepanjang jalan yang mampu membawa sedikit kesejukan.

Tak sampai sepuluh menit, mobil berhenti tak jauh dari gerbang sekolah. Aksa langsung mencopot sabuk pengaman dan berniat keluar. Tak ada acara mencium punggung tangan atau ucapan selamat belajar layaknya ibu dan anak. Namun, ketika pintu terbuka. Aksa terdiam sesaat. "Bisakah sehari saja gak usah menyebut nama Kakak? Aku muak." Tanpa menunggu jawaban, Aksa berlalu keluar.

Ibu Agni sedikit terkejut mendengar permintaan. Namun, dia juga tak paham. Memang kenapa kalau terus menyebut nama Arga? Memang salah? Mereka bersaudara? Lagipula memberi perbandingan akan melecut semangat, bukan begitu? Semua orang melakukannya.

Dia masih duduk di dalam mobil ketika melihat Aksa dihampiri teman sekelas. Mereka bergurau dan sebuah senyum yang sudah lama tak dilihat, menghiasi wajah anak lelakinya. Tak lama ponsel di tas berbunyi, menandakan dia sudah ditunggu kedatangan.

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang