"Den, Mak sudah menelpon Mas Arga," lapor Mak Ris. Dia mendekat ke Aksa yang tengah duduk dekat peti jenazah ibunya.
"Dia bilang apa, Mak?" Aksa tidak terlaku antusias menanggapi ucapan Mak Ris. Pandangannya kosong walau tetap tertuju pada wajah ibunya.
"Mas Arga cuma bilang iya saja, Den."
"Terima kasih, Mak" Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Aksa.
Mak Ris berlalu pergi karena saudara lain mulai berdatangan. Mereka mengucapkan bela sungkawa lalu menegarkan Aksa.
"Kalau butuh apa-apa bilang."
"Kakakmu pulang kan?"
"Sudah gak usah bersedih."
Segala ucapan bernada menegarkan bahkan tak didengar. Aksa sudah tenggelam dalam kesedihan yang paling dalam. Air mata juga enggan keluar. Dunia yang dimiliki sudah hancur berantakan. Untuk apa dia hidup sekarang? Untuk apa kebebasan yang dimiliki sekarang? Sejak awal dia tak membutuhkan. Dia baru menyadari, hanya ibunya yang terpenting.
Orang datang dan pergi. Begitu pula rekan satu tim, Asih juga guru yang memberi dukungan.
"Sa, kita turut berduka cita."
Aksa mengangguk ketika Fandi mengucapkan dan mengusap bahu untuk menegarkan.
"Kak, yang kuat, ya."
Aksa tersenyum paksa. Ya, sekarang mungkin dia bisa kuat karena sang ibu masih ada di sampingnya. Namun, bagaimana nanti saat dikebumikan? Dia tak akan melihat wajah ibunya atau mendengar omelan.
"Den, sudah waktunya Ibu dikebumikan."
Ucapan Mak Ris menyadarkan bahwa Aksa harus mengucapkan selamat tinggal pada ibunya.
"Tunggu sebentar lagi, Mak. Kakak belum datang. Apa Mak bisa menanyakan sampai di mana Kakak sekarang?"
Mak Ris tak bisa membantah. Dia tahu Aksa hanya ingin menunggu kedatangan kakaknya dengan harapan dapat melihat wajah ibunya untuk terakhir kali. Namun, jenazah juga harus segera dikebumikan. Mereka sudah menunda terlalu lama. "Baik, Den." Akhirnya dia mengalah dan menyingkir pergi.
Aksa masih setia duduk di samping jenazah dan memandangi lama, seolah menyimpan seraut wajah yang perlahan akan mengabur oleh waktu. "Bu, tunggu aku." Dia tak ingin memejamkan mata walau sejenak dan kantuk menghajarnya habis-habisan. Perutnya juga lapar, tetapi tak ada selera untuk menyantap makanan yang ditawarkan padanya.
Sebuah tepukan halus membuat Aksa menoleh. Mak Ris.
"Mas Arga gak angkat teleponnya, Den."
Aksa tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Dia masih berkeyakinan jika kakaknya akan datang, walau mungkin saja telat. Bukankah bagi Ibu, Arga adalah anak kesayangan. Rasanya aneh jika tidak pulang.
"Den, tapi Ibu harus segera dikebumikan."
"Iya." Pasrah. Tidak mungkin Aksa menunda lebih lama. Sudah tiga hari mereka menunggu kedatangan dan sampai sekarang tidak ada tanda-tanda kepulangan kakaknya. Bahkan telepon saja tidak diangkat. Ya, mungkin kakaknya syok, sama seperti dirinya. Namun, apakah mengangkat telepon untuk mengabarkan sudah sampai di mana sesusah itu?
Dalam waktu singkat, Aksa sudah berada di dalam mobil ambulance yang akan mengantar ke pemakaman. Berada di kampung halaman yang berada di perbatasan Jogja-Magelang. Di sampingnya ada Mak Ris yang berusaha menegarkan.
Sepanjang perjalanan, Aksa tak banyak bicara. Dia juga sudah tidak memiliki energi untuk menangis. Sedang di luar, cuaca mendung. Beberapa awan gelap berkumpul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...