Setelah memantapkan hati, Aksa berniat pergi ke rumah sakit tanpa memberi tahu siapapun. Beruntung setelah kejadian hari itu, ibunya menjadi sibuk. Seperti kali ini sudah pergi lebih dulu dikarenakan meeting. Dan untuk mengelabuhi Mak Ris, dia membawa baju ganti dalam tas.
Tengah malam, saat dia terbangun dan mendapati wedang jahe di nakas. Dia merasa bersalah telah membuat ibunya yang baru saja sembuh, khawatir dengan kondisinya yang tak seberapa. Hanya muntah.
Selepas menghabiskan minuman yang dia tahu kesukaan kakaknya, dia membaca artikel di ponsel untuk mengetahui kemungkinan yang terjadi padanya. Bahkan dia juga menanyakan di sebuah situs kesehatan yang menyarankan untuk menemui dokter spesialis syaraf, alih-alih dokter umum. Mengingat sakit kepalanya sudah sebulan lebih tidak ada perubahan.
Duduk di ruang tunggu, dia melihat pasien yang didampingi oleh keluarga. Jauh berbeda dengannya yang harus berangkat sendiri. Bahkan sembunyi-sembunyi. Dia berharap bukan penyakit serius akibat pemukulan yang pernah menimpanya dan bisa diatasi dengan pengobatan jalan.
"Sudah berapa hari Anda sakit kepala?" tanya dokter lelaki paruh baya. Dia menatap Aksa, menanti jawaban sedang tangannya bersiap menulis anamnesis.
"Lebih dari satu bulan."
"Lebih dari satu bulan?" Lelaki itu geleng-geleng tak percaya lalu berusaha menguasai keadaan secara profesional.
"Saya mengira hanya sakit kepala biasa, jadi hanya minum obat akan segera lekas sembuh." Aksa berusaha menjelaskan melihat perubahan raut wajah dokter di hadapannya.
Dokter bernama Purnomo Aji itu menghela napas panjang lantas melanjutkan menulis. "Apa sebelumnya pernah jatuh atau mengalami kecelakaan?"
"Tidak pernah, tapi pernah dipukul."
Lelaki itu menatap lekat lantas melanjutkan menulis.
Hampir sepuluh menit, Aksa terus saja dicecar berbagai pertanyaan oleh dokter. Mengenai keluhan yang dirasakan.
"Untuk lebih memastikan, saya akan meminta Anda melakukan CT-Scan. Jika hasilnya sudah keluar, saya akan membacakan hasil juga tindakan selanjutnya."
Tanpa banyak bertanya, Aksa keluar, menunggu di depan ruang radiologi hingga namanya dipanggil. Seorang ners mengarahkan untuk mengganti baju yang dipakainya dengan pakaian khusus, lantas menyuruh berbaring. Sebuah mesin pemindai berbentuk lingkaran besar, sempat membuatnya gentar. Apakah seserius itu sakit kepala yang diderita?
Selama menjalani proses, Aksa tak berhenti berdoa jika hasilnya bisa diselesaikan dengan pengobatan jalan. Jadi tak perlu membawa sang ibu dalam masalahnya.
Setengah jam, akhirnya Aksa keluar dari ruangan. Dia pergi ke ruang administrasi untuk melakukan pembayaran. Beruntung uang saku pemberian ibunya cukup.
Menyadari hari sudah mulai sore, dia bergegas pulang untuk menghindari kecurigaan ibunya. Selama perjalanan, dia membuka ponsel dan mendapati pesan dari Fandi juga Firdaus, menanyakan mengapa tidak berangkat. Tak dibalasnya. Biar saja. Besok juga ketemu di sekolah.
Sesampai di rumah, dia bergegas ke ruang makan. Tanpa ganti baju terlebih dahulu juga cuci tangan.
Mak Ris menyambut hangat permintaan dan lekas menyiapkan makan. Apalagi mengingat semalam mendengar cerita jika anak majikannya muntah. Dia menduga kecapekan latihan setiap hari.
"Tangannya kenapa, Den?" tanya Mak Ris ketika menyuguhkan sop iga ke hadapan Aksa dan melihat plester di punggung tangan.
Beruntung sebelum pulang, Aksa sempat membeli plester untuk menutupi bekas suntikan sebelum menjalani CT-Scan. "Gatal, Mak. Tadi kugaruk sampai lecet."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)
RandomDia selalu dituntut menjadi seperti kakaknya. Berprestasi dan sehebat keinginan ibunya. "Bu, jika aku memenuhi semua tuntutanmu? Apakah kamu bisa melihatku sebagai Aksa, bukan Kakak?" Dia lelah, muak, lalu mulai berontak. "Bagian mana aku gak menur...