10

23 3 0
                                    

Tanpa menoleh, Aksa sudah tahu siapa yang memanggilnya. Dia berusaha melepaskan tangan Fahri dan berlalu pergi. Tak dihiraukan saudara yang menatap keheranan karena pertama kali melihatnya menggunakan kekerasan.

Dia berjalan menuju cottage yang masih beberapa meter lagi. Di belakang, ibunya kepayahan mengimbangi langkah karena memakai sepatu high heels.

Sesampai di cottage, Aksa mengempaskan pintu dengan keras lantas duduk di tepi ranjang. Ibu Agni masuk tak beberapa lama.

"Jadi apa latar belakang sampai kamu berbuat kekerasan?" tanya Ibu Agni meminta penjelasan.

Aksa diam. Tak mungkin mengatakan jika saudaranya telah melecehkan ibunya, jadi yang dilakukan adalah menutup rapat mulut.

"Jawab Aksa! Kamu suruh Ibu memahamimu, lalu kenapa kamu gak menjelaskan duduk perkaranya?"

Aksa yang tadinya menunduk kini mendongak. Dia menatap sendu pada ibunya. Sungguh, dia juga ingin meminta penjelasan untuk semuanya. Benarkah jika dia adalah anak haram hingga selalu disalahkan sampai sekarang.

"Aksa!" Kini Ibu Agni mulai tersulut amarah. Dia pikir membawa Aksa keluar akan membuat suasana hati membaik setelah ujian dan tak lagi membuat masalah. Namun, kenyataan sama saja.

Aksa meremas rambutnya dengan frustasi. Jika dia mengatakan, hati ibunya sudah pasti terluka. Namun, jika diam semua menjadi runyam. "Bisakah Ibu berhenti ikut pertemuan keluarga? Mereka saudara, tetapi selalu membicarakanmu di belakang."

Ibu Agni tersadar jika Aksa hanya mengkhawatirkan dirinya. "Kita gak punya kuasa untuk mencegah mereka membicarakan apa. Untuk apa kita harus memikirkannya?"

Aksa bangkit. "Setidaknya Ibu menjelaskan padaku!"

"Apa maksudmu?" Dahi Ibu Agni mengernyit. Apa yang harus dijelaskan?

Aksa menuding ke sembarang arah dengan tubuh yang bergetar menahan amarah. "Apa benar aku anak hasil perselingkuhan sehingga apa yang kulakukan selalu salah di mata Ibu?"

Ibu Agni syok. Dia mundur selangkah dengan tangan memegang dada.

"Ibu mungkin gak memikirkan, tapi aku ... selama ini terus saja bertanya. Benarkah semua itu? Tapi apa? Ibu diam bahkan sama sekali gak menjelaskan."

Wanita yang memakai dres hitam dengan payet di sekitar leher itu mencari kursi untuk duduk dan menenangkan diri. Napasnya mendadak sesak, mendengar pertanyaan putranya.

Aksa menanti beberapa saat.

"Kenapa diam? Jawab aku, Bu." Saking dipenuhi amarah, mata Aksa mulai berkaca-kaca. Sekuat tenaga, dia menghalau pikiran jika ibunya telah membenarkan apa yang terjadi dengan diam.

Ibu Agni memijit pelipis. Mengapa harus pertanyaan itu yang diberikan? Bagaimana dia harus menjelaskan? Memang hasil tes DNA beberapa tahun silam menyatakan jika Aksa bukanlah anak dari Artha —suaminya. Namun, dia berusaha menutup rapat kenyataan itu di hadapan keluarga. Sama sekali tidak menyangka jika akan ada orang yang mengetahui hal itu bahkan membicarakan terus menerus di depan anaknya.

Selingkuh? Entahlah. Apa yang dilakukan apa sebuah perselingkuhan. Dia sama sekali tak ingat. Memang dia pernah datang pada sebuah pesta rekan bisnisnya, lalu mabuk dan berakhir di ranjang hotel. Tak ada yang aneh saat bangun. Baju yang dikenakan juga masih sama saat berangkat, tidak berantakan layaknya mendapat pelecehan. Namun, dia juga tak paham mengapa hasil test DNA mengatakan Artha bukan ayah Aksa.

Direkayasa? Entahlah. Saat itu dia terlalu syok saat mendapati kenyataan jika Aksa bukan anak dari Artha. Tak ada pikiran jika dimanipulasi. Ditambah bukti foto dirinya dengan lelaki yang dikatakan berulang sebagai rekan bisnis keluar dari hotel secara bersamaan.

Aku Bukan Kakak, Bu (Prekuel Arga ; Pusaran Sesal)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang