Satu

1.4K 65 2
                                    

Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Kesamaan nama tokoh, tempat, dan peristiwa adalah hasil

*
*
*

Anjani tengah mengecek pakaian dan barang yang akan ia bawa ke desa. Takut ada yang tertinggal. Gadis itu baru saja diwisuda beberapa hari lalu. Setelah lulus kuliah, dia tidak langsung memutuskan untuk bekerja.

Anjani ingin menetap selama beberapa waktu di desa tempat nenek dan kakeknya tinggal. Dia ingin beristirahat sejenak dari hiruk pikuk kota Jakarta yang sibuk. Menikmati udara segar pedesaan yang belum tercemar polusi.

Semua persiapan kini sudah selesai. Pakaian, handuk, skincare, bodycare, dan beberapa printilan lain sudah masuk ke dalam koper. Barang lain seperti buku, sepatu, dan snack untuk diperjalanan juga sudah ada di tas ranselnya.

"Beres. Sekarang tinggal kirim chat ke Mamah deh!" gumam Anjani.

Anjani mengirim pesan kepada ibunya yang mengatakan kalau ia pergi ke desa nenek dan kakeknya untuk sementara waktu. Dia sengaja tidak meminta izin langsung karena ia tahu orang tuanya tidak akan memberi izin seperti sebelum-sebelumnya.

Untunglah dia menolak saat diajak pulang ke rumah setelah wisuda lalu dengan alasan waktu sewa kos yang belum habis. Ya, tidak salah sih. Masih ada waktu satu bulan lagi. Karena orang tuanya tahu biaya kos Anjani cukup mahal, jadi mereka sama sekali tidak curiga. Apalagi Anjani sedikit pelit orangnya.

Anjani memakai tas ranselnya. Ia menyempatkan diri merapikan jilbabnya di depan cermin, kemudian menarik kopernya keluar kamar. Sebelum pergi, tak lupa ia berpamitan kepada seluruh penghuni kosan.

"Astagfirullah mbak. Mbak kalau mau pindahan kenapa gak pesen taxi aja?" tanya seorang driver ojek online setelah melihat barang bawaan Anjani.

"Mahal, pak. Lagian saya kan cuma mau ke stasiun kereta. Bisa kali pak kopernya simpen di depan," bujuk Anjani kepada sang driver.

Jujur saja, desa yang akan ia tuju itu jauh dari kota. Saking jauhnya, bahasa yang digunakan masih bahasa Sunda kental. Kalau naik taxi online, biayanya pasti mahal. Jadi, Anjani memilih untuk mengecer saja, naik transfortasi umum. Ia juga sengaja berangkat pagi agar tidak sampai kemalaman.

"Yaudah deh mbak, saya angkut."

Akhirnya Anjani berangkat ke stasiun kereta. Sesampainya di sana, ia membeli tiket dan naik kereta jurusan Jakarta-Bandung. Setelah sampai di Bandung, Anjani harus naik bus, lalu naik angkot untuk sampai di tujuan.

Anjani duduk di barisan ke empat dengan dua kursi. Sepasang earphone terpasang di kedua telinganya. Kepalanya bersandar ke kaca mobil.

Tadi malam ia begadang karena terlalu bersemangat untuk pergi ke desa sampai tak bisa tidur. Jadi, Anjani merasa ngantuk sekali. Saat matanya hampir terpejam, dering handphone menyadarkannya dari rasa kantuk.

Ia mengambil handphone-nya dari saku celana dan mengangkat telepon tanpa melihat sang penelpon.

"Assalamualaikum..."

"Waalaikumsalam. ANJANIII! Kamu mau pergi ke desa? Enggak, mama gak izinin kamu ke sana ya. Pulang ke rumah sekarang juga!" ucap orang di sebrang sana. Ternyata itu ibu Anjani.

"Telat Mah. Anjani udah di Bandung sekarang, lagi di jalan," kata Anjani dengan santainya.

"Ya Allah, Anjani!" Suara ibunya terdengar putus asa.

Anjani tidak mengerti. Kenapa orang tuanya tidak memperbolehkan ia pergi ke desa? Perasaan dulu mereka rutin ke sana setiap mudik lebaran. Tetapi, sejak lima tahun lalu, mereka tidak ke sana lagi. Digantikan dengan nenek dan kakeknya yang selalu datang ke Jakarta setiap hari raya tiba.

SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang