Dua Puluh

495 59 4
                                    

Seperti hari raya di tahun-tahun sebelumnya, tahun ini juga Anjani berkunjung ke rumah nenek dan kakeknya di desa. Anjani senang jika datang ke desa. Bukan hanya karena dia bisa bertemu nenek dan kakeknya, menikmati udara segar, atau melihat pemandangan yang asri saja, namun ia juga bisa bertemu Agas dalam mimpi dengan lebih sering.

Saat di Jakarta, Agas datang ke mimpinya hanya sebanyak 2 atau 3 kali dalam seminggu. Namun jika Anjani berada di desa tempat tinggal nenek dan kakeknya, Agas akan berkunjung setiap malam.

Suatu sore, Anjani baru saja pulang setelah pergi ke rumah Radit, sepupunya. Ketika dia melangkah masuk, dia melihat kakek dan ayahnya sedang mengobrol dengan ustadz di kampung mereka. Anjani tidak tahu mereka sedang membicarakan apa, bukan urusan dia juga.

Anjani mengulurkan tangan ke depan, menunduk sambil tersenyum saat berjalan melewati mereka. ''Parunten!"

"Eh, mangga Neng, mangga!" jawab pak Ustadz.

Anjani kembali menegakan tubuhnya setelah melewati mereka. Gadis itu masuk ke dalam kamar.

Ketika Anjani lewat tadi, Pak Ustadz merasa ada sesuatu yang janggal pada gadis itu. Terutama cincin dengan batu merah yang Anjani pakai di jari manisnya.

''Cincinnya dapat dari mana, Pak?" tanya Ustadz Engkus pada Eko.

Sebelah alis Eko terangkat, tak mengerti dengan maksud ucapan sang ustadz. Eko tak memakai cincin, jadi cincin siapa yang dia maksud?

"Maaf, cincin apa ya, Pak?"

''Itu, cincin yang dipakai si Neng tadi. Itu cincinnya dari bapak bukan?"

Kerutan di kening Eko bertambah setelah mendengar ucapan ustadz Engkus. Dia tak mengerti cincin apa yang dibicarakannya. Eko bahkan tidak tahu putrinya pakai cincin. Sejak kecil, Anjani tak terlalu suka memakai perhiasaan apapun. Semua perhiasan yang terpasang di tubuhnya selalu berakhir buruk. Rantai kalung putus, gelang penyok, permata di cincin hilang, semuanya tak pernah dalam kondisi bagus dalam waktu yang lama.

Melihat wajah Eko yang nampak kebingungan, Ustadz Engkus mengerti sesuatu. Nampaknya, cincin itu bukan pemberian Eko. Masalahnya, batu permata berwarna merah itu memancarkan aura yang gelap. Nampaknya itu bukan cincin dari alam ini.

''Coba tanya sama anaknya, dapat cincin itu dari mana. Saya rasa, aura cincinnya gelap, gak bagus itu.''

Mendengar ucapan sang ustadz, Eko jadi merasa penasaran. Dia harus menanyakannya pada Anjani.

*****

Semua anggota keluarga tengah makan malam bersama. Mereka menggelar tikar di lantai kayu, menyajikan makanan di tengah-tengah, dan duduk mengelilinginnya. Nampak begitu sederhana, namun suasana hangat yang membuatnya istimewa.

Menyantap makanan dari hasil tani sendiri dan dimasak oleh tangan sendiri pula, rasanya lebih nikmat dari restoran manapun. Ditambah lagi canda gurau bersama orang-orang tersayang. Tidak ada kata lain yang lebih pantas untuk menyebut keadaaan ini selain 'rumah'.

''Rendangnya lebih enak setelah diangetim terus-terusan,'' celetuk Anjani sambil terkekeh. Tangannya terulur untuk mengambil daging rendang yang sudah 3 hari berturut-turut  dihangatkan.

Mata Eko tertuju kepada cincin di jari manis putrinya. Sejak kapan Anjani memakai itu? Bisa-bisanya selama ini dia tidak sadar.

''Cincinnya bagus. Dapat dari mana, Jani?"

Mendengar ucapan Eko, semuanya jadi ikut tertuju pada cincin dengan permata merah itu. Mereka juga nampak penasaran.

''Oh, ya? Ini ... anu, dapat dari teman," ucap Anjani berbohong. Dia tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya.

SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang