Empat belas

758 49 2
                                    

Karena insiden Siti, warga kampung sepakat untuk membuat pembatas di kedua sisi jembatan. Mereka tak ingin tragedi itu terulang kembali.  Keputusan itu sebenarnya agak telat. Seharusnya RT setempat sudah melakukannya sebelum tragedi terjadi.

Perbaikan itu membuat warga setempat jadi sedikit kesulitan. Pasalnya, jembatan tersebut adalah jalan utama yang menghubungkan RT 02 dan RT 03 yang dipisahkan oleh sungai. Karena jembatannya diperbaiki, alhasil warga harus melewati jalan alternatif yang lumayan jauh.

''Ukh, nyebelin. Gara-gara jembatannya diperbaiki, aku jadi harus lewat jalan muter buat ke sini," keluh Nuri.

''Sabar ya, Nuri!" ucap Anjani sambil mengelus surai hitam gadis kecil itu.

Sore ini Anjani bermain di tanah lapang bersama anak-anak. Tanah lapang itu benar-benar tanah kosong tanpa pemilik. Pemiliknya yang dulu meninggal dan menjadikan lahan luas tersebut sebagai tanah wakaf, tapi hingga sekarang warga kampung belum menggunakannya. Jadi, anak-anak memakainya sebagai tempat bermain.

Tanah lapang itu tepat bersebelahan dengan hutan. Hutannya mengelilingi desa, jadi jangan heran kalau hampir setiap tempat yang ada di desa ini dekat dengan hutan.

Kali ini bukan hanya Dimas dkk, anak-anak kampung yang lain juga ikut bermain. Terhitung ada 10 orang termasuk Anjani yang ikut bermain. Kebetulan hari ini mereka libur mengaji.

Mereka memutuskan untuk bermain petak umpet. Kali ini giliran Anjani yang jaga. Semua anak bersembunyi di tempat yang berbeda-beda. Ada yang di balik semak, ada yang di balik pohon, pokoknya macam-macam.

''Ketemu!" ucap Anjani saat menemukan Malik di dalam gentong tak terpakai.

Anjani lanjut mencari anak-anak lain. Tak butuh waktu lama, ia berhasil menemukan 7 anak lainnya. Tinggal Dimas saja yang belum.

Ia tersenyum saat melihat semak-semak di arah timur bergerak. Terlihat kain berwarna kuning yang mengintip di sela-sela dedaunan. Anjani berjalan perlahan menghampiri semak itu, lalu...

''Dimas ketemu!"

''Ah, Teh Anjani."

Anjani tertawa melihat ekspresi cemberut Dimas. Dia menarik tangan anak itu dan membawanya berkumpul bersama yang lain. Anjani menghitung semua anak yang ada di lapangan. Jumlahnya pas sembilan orang.

''Ujang, kamu yang pertama ketemu kan? Sekarang kamu yang jaga!" titah Dimas.

''Enggak ah, aku mau pulang. Udah mau maghrib, nanti dicariin Mamah,'' ujar anak bernama Ujang itu.

''Eh, kok gitu? Ini giliran kamu jaga loh. Jangan licik dong."

''Enggak, aku tetep mau pulang! Kemarin juga kan ada yang meninggal, takut!" kata Ujang, lalu melenggang pergi tanpa mendengarkan panggilan Dimas.

"Aku juga ah!"

"Iya, aku juga mau pulang!"

Karena Ujang, anak-anak yang lain juga jadi ikutan pulang. Wajah Dimas semakin tertekuk saja.

''Kita juga sebaiknya pulang aja. Ini udah mau maghrib, kalian gak takut dicariin?" saran Anjani.

''Pulangnya nanti dulu aja, Teh. Kita masih mau main," kata Dimas yang diangguki tiga anak yang tersisa. Siapa lagi kalau bukan Nuri, Malik, dan Ucup.

Melihat wajah memelas mereka, Anjani jadi tidak tega. Ia menghela napas lalu berkata, ''Oke, tapi sekali lagi aja ya!"

''Iya!" jawab keempat anak itu serempak.

''Kali ini Dimas yang jaga. Soalnya Dimas yang ngajak!" tunjuk Nuri kepada Dimas.

''Eh, aku?"

Semua orang mengangguk. Akhirnya Dimas menurut. Ia menutup matanya dengan kedua tangan dan mulai menghitung.

SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang