Anjani sampai juga di rumah neneknya. Terlihat banyak sekali orang yang berkumpul di sana. Ada Radit dan Danu yang tertunduk dengan tampang menyesal, sedangkan ibunya menangis di pelukan sang ayah.
Anjani tidak mengerti, apa yang sedang terjadi. Kenapa mereka semua memasang wajah yang sedih dan khawatir?
"Mama?" cicit Anjani, lantas semua orang melihat ke arahnya.
''Anjani!" Nirmala, ibu Anjani segera menghampiri sang putri dan memeluknya. ''Ya Allah, Anjani. Kamu ke mana aja? Mama khawatir!''
Anjani balas memeluk sang ibu. Tangan kecilnya menepuk pelan punggung wanita yang melahirkannya itu.
''Mama kenapa nangis? Anjani gapapa, kok. Cuma tadi Anjani jatuh ke jurang, terus ... terus ditolongin sama cowok, ganteng banget!" ucap Anjani menggunakan bahasa Indonesia berlogat imut. Matanya berbinar saat kembali mengingat lelaki yang menolongnya.
Dahi Nirmala mengerut mendengar penuturan Anjani. Dia bingung harus bereaksi seperti apa. Senang karena putrinya kembali, marah karena gadis kecil itu main ke hutan, sedih karena Anjani terluka, atau ia harus menanyakan siapa laki-laki yang menolongnya?
Ya sudah, Nirmala keluarkan saja semuanya.
''Maya Sri Anjani, siapa yang nyuruh kamu main ke hutan, huh? Lihat kan, kamu terluka karena jatuh! Udah tahu hutan itu bahaya, masih aja main ke sana. Kalau ada yang ngajak ke hutan tuh, kamu tolak, bukannya malah ikut-ikut aja! Untung aja ada yang nolongin kamu, kalau enggak gimana?'' Nirmala mengomel panjang lebar dengan kecepatan tinggi, sedangkan Anjani melongo, mencoba memproses ucapan sang ibu.
''Entah siapa anak itu, yang pasti Mama berterima kasih banget sama dia karena udah nolongin kamu!" lanjut Nirmala. Kali ini nada bicaranya melembut.
''Sudahlah, Neng. Jani jangan dimarahin! Yang penting kan sekarang dia sudah pulang,'' ucap Ni Mursih mencoba menenangkan menantunya. Walaupun, sebenarnya ia tidak mengerti dengan apa yang Nirmala ucapkan. Maklum saja, generasi lama sepertinya tidak fasih berbahasa nasional.
Nirmala menghela napas, mencoba mengontrol emosinya. Tidak baik juga marah-marah di depan banyak orang.
''Bapak-bapak, ibu-ibu, sebelumnya saya ucapkan terima kasih kepada anda semua karena telah sudi membantu untuk mencari anak saya. Syukurlah ternyata dia pulang sendiri. Maaf sudah merepotkan," ujar Eko, ayah Anjani kepada para warga.
''Tidak apa-apa, Pak. Alhamdulillah, sekarang Anjani sudah pulang. Kalau begitu, kami pamit pulang. Ayo para warga!" ajak Pak RT. Kerumunan pun bubar, pulang ke rumah masing-masing.
Sebetulnya, beberapa saat lalu Radit dan Danu datang ke rumah Ki Agung sambil tergesa-gesa. Mereka datang untuk memberitahukan jikalau Anjani telah menghilang dan mereka tidak bisa menemukannya. Kedua anak itu terus mengucapkan kata maaf dan penyesalan.
Kemudian, Eko meminta bantuan warga kampung untuk mencari Anjani ke hutan. Karena itulah mereka semua berkumpul di halaman rumah Ki Agung. Untung saja Anjani pulang sebelum mereka berangkat.
''Ko, maafin anakku, ya! Dia ini kebiasaan, mainnya jarambah. Kamu ini, kalau mau celaka jangan ngajak-ngajak orang!" Agus menoyor kepala putranya dengan jari telunjuk. Radit cemberut sambil mengusap keningnya. Tidak sakit sih, tapi menyebalkan. ''Kamu ini udah gede, bukannya jagain Anjani...''
''Udah, Gus. Gapapa! Anak laki kalau udah masuk usia remaja, jiwa petualangnya pasti menggebu-gebu. Aku maklumi kok!"
Akhirnya hari itu berlalu dengan tiga anak nakal yang diomeli ibunya masing-masing.
Namun, sejak Anjani ditolong oleh Agas hari itu, pemuda itu jadi kerap kali muncul di mimpinya. Awalnya, Anjani hanya memimpikannya jikalau ia sedang berkunjung ke rumah sang nenek. Tapi, tahun demi tahun berlalu, mimpinya menjadi sering muncul, bahkan ketika Anjani ada di Jakarta sekali pun. Dia bahkan sampai tidak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan.
Dalam mimpi itu, mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Agas mengajaknya ke tempat-tempat indah yang tak pernah Anjani lihat sebelumnya. Di sana mereka berbincang, saling bertukar cerita, bahkan sampai melakukan skinship ringan, seperti berpegangan tangan, mengusap rambut, menepuk kepala, atau bahkan berpelukan.
Mimpi itu terus berlanjut sampai Anjani tumbuh menjadi gadis remaja yang sudah mengenal cinta. Bertemu terus-menerus dan diperlakukan romantis oleh seorang pemuda tentu menumbuhkan benih-benih cinta di hatinya. Anjani sudah tidak peduli lagi mau Agas itu nyata atau tidak, siapa pun dia, yang Anjani mau hanyalah terus bersamanya.
''Anjani!" panggil Agas sambil mengusap rambut halus Anjani. Sekarang, Gadis itu tengah bersandar di bahunya. Mereka berdua tengah duduk di sebuah batu besar dengan kaki yang dicelupkan ke dalam air.
''Hm?" Anjani mengangkat kepalanya dan menatap Agas.
Tangan pria itu terulur menyentuh pipi Anjani yang kemerahan. Ibu jarinya mengusap pelan di sana.
''Anjani, maukah kamu menikah denganku?" tanya Agas tiba-tiba, membuat gadisnya terkejut.
Raut wajah Anjani berubah tegang, ia gugup. Apa Agas baru saja melamarnya? Anjani harus jawab apa? Ia belum siap untuk menikah. Anjani masih sekolah dan usianya baru saja 17 tahun. Ia ingin menolak, tapi bagaimana kalau Agas kecewa padanya?
Melihat gadisnya merasa tak nyaman, Agas menghela napas. Mungkin ia terlalu terburu-buru. Baiklah, Agas akan mencoba mengerti. Ia akan menunggu sampai gadis itu siap.
Agas mengulas senyum untuk menghibur Anjani. ''Tak apa jikalau kamu belum siap. Kita bisa menjalin kasih dulu untuk sekarang."
"Menjalin kasih?" ulang Anjani kebingungan. Ia berusaha mencari sinonim dari kedua kata itu. Agas itu sering sekali menggunakan bahasa yang tidak Anjani mengerti. ''Maksudnya pacaran?"
Agas mengangguk.
''Kalau itu, aku mau!" jawab Anjani dengan senyuman lebar.
Agas nampak senang mendengar ucapan Anjani. Ia lalu mengeluarkan sebuah cincin emas dengan permata berwarna merah oval di tengahnya. Anjani tak mengerti, sejak kapan cincin itu ada di tangan Agas. Cincin itu muncul begitu saja.
Kedua bola mata Anjani berbinar, nampak terpesona dengan lingkaran kecil berkilau di tangan pria yang sekarang berstatus sebagai pacarnya itu.
Agas mengambil tangan kanan Anjani dan memakaikan cincin itu di jari manisnya. Ia lalu mengecup punggung tangan gadis itu.
Anjani masih terus saja menatap cincin yang sekarang melingkar di jari manisnya.
Agas tersenyum melihat reaksi kekasih kecilnya. Ia menarik dagu Anjani agar perhatian gadis itu beralih padanya. Tangan kirinya bergerak menyapu helaian rambut yang menghalangi wajah ayu Anjani. Tanpa mengatakan apapun, pria itu mendekat dan mencium bibir merah muda Anjani yang terkatup rapat.
Anjani sendiri hanya diam tak memberi reaksi apapun. Entah terlalu terkejut atau bagaimana. Yang pasti itu adalah ciuman pertamanya. Gadis itu membiarkan Agas melumat bibirnya dengan rakus.
Tangan Agas bergerak ke belakang kepala Anjani dan menjambak rambutnya pelan sebagai isyarat agar gadis itu membuka mulutnya. Saat mulut Anjani terbuka, pria itu menyusupkan lidahnya ke dalam sana.
''Kamu milikku, Anjani! Selamanya."
*
*
*Bersambung...
KAMU SEDANG MEMBACA
Swastamita
RomanceAnjani datang ke desa untuk menemui kakek dan neneknya setelah sekian lama. Sejak tiba di sana, Anjani selalu bermimpi bertemu dengan seorang pria tampan di tengah hutan. Anjani juga jadi sering mengalami kejadian mistis yang tak pernah ia alami seb...