Anjani baru saja selesai menunaikan ibadah sholat subuh. Sudah menjadi kegiatan rutin Anjani untuk merapikan seprai dan selimutnya di pagi hari. Saat Anjani mengibaskan selimut, ada benda yang terlempar dan jatuh ke lantai. Anjani menunduk dan mengambil benda itu.
"Bunga?" gumam Anjani.
Bunga ini dari mana asalnya? Rasanya Anjani tidak pernah memetik bunga deh. Entah perasaannya saja atau bunganya mirip dengan yang ada di dalam mimpi?
Anjani menggelengkan kepalanya. Entahlah, ia tak mau ambil pusing. Mungkin ia mengambil bunga itu dari suatu tempat kemarin.
Gadis itu pun meletakkan bunganya di ranjang dan pergi ke dapur untuk sarapan.
Ni Mursih dan Ki Agung melihat Anjani dengan keheranan. Tidak biasanya gadis itu makan banyak. Ini kali ketiganya Anjani menambah nasi. Sebenarnya tidak masalah walau Anjani mau menghabiskan satu bakul pun, hanya saja biasanya gadis itu hanya makan secentong nasi saja. Kenapa tiba-tiba Anjani jadi makan banyak?
"Nini, Anjani mau tambah kangkungnya lagi dong!" Anjani menunjuk sepiring penuh kangkung di depan neneknya.
Ni Mursih menyodorkan piringnya kepada sang cucu. "Tumben makan banyak Jan?"
"Iya, Ni. Habisnya Anjani ngerasa laper banget bangun tidur tadi. Masakan Nini juga enak sih, makanya nambah terus," jawab Anjani sebelum kembali menyuapkan makanan ke mulutnya.
"Kalau begitu, makan aja yang banyak. Biar tambah montok!"
Anjani memanyunkan bibirnya ke arah sang nenek. Tubuh Anjani memang tergolong berisi di segala sisi. Dia tak pernah merasa tidak percaya diri dengan tubuhnya, hanya saja kalau lebih dari ini...Anjani tidak mau. Sudah cukup, jangan sampai berat badannya bertambah.
"Assalaamu'alaikum!"
Terdengar suara seorang pria mengucap salam di depan rumah. Ni Mursih beranjak dari dapur ke pintu depan untuk mengecek siapa yang datang.
"Wa'alaikumsalam. Eh, Jang Galuh!"
Galuh tersenyum, kemudian menyalami Ni Mursih.
"Ada perlu apa?" tanya Ni Mursih kepada pemuda manis itu.
"Saya cari...Anjani? Katanya dia cucunya Ni Mursih," ucap Galuh dengan tutur katanya yang lembut.
Ni Mursih nampak heran, tapi sedetik kemudian ia kembali memasang wajah ramah. "Oh, mau ketemu Anjani. Silakan masuk, Nini panggilkan Anjani dulu!"
Galuh duduk di kursi sembari menunggu. Tak lama, Anjani datang sambil membenahkan jilbabnya. Galuh yang tadinya sedikit menunduk, segera menegakkan punggungnya.
Anjani duduk di kursi, berhadapan dengan Galuh.
"Ada perlu apa ya A?"
"Ah, ini..." Galuh menyimpan kantung keresek berisi buah di meja. "Buat kamu, sebagai ucapan terima kasih karena sudah bantu aku waktu itu."
"Eh, gak usah A. Aku ikhlas kok, tapi kalau Aa maksa sih, saya terima!" ucap Anjani, mengambil keresek itu sambil cengengesan.
Galuh ikut tertawa kecil melihat tingkah Anjani. Setelah itu, semuanya hening, tak ada yang memulai topik pembicaraan.
Dalam kebeningan itu, diam-diam Anjani memerhatikan Galuh. Pemuda itu ternyata cukup tampan. Tubuhnya lumayan tinggi dengan badan tegap yang sedikit kurus. Kulit sawo matang, mata sayu kecokelatan, hidung bangir, dan kumis tipis manis.
Galuh mengusap tengkuknya. Ia merasa canggung. Apalagi melihat Anjani yang tengah menatapnya tajam.
''Tau gak, A?" celetuk Anjani tiba-tiba. Galuh hanya menggeleng pelan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Swastamita
Roman d'amourAnjani datang ke desa untuk menemui kakek dan neneknya setelah sekian lama. Sejak tiba di sana, Anjani selalu bermimpi bertemu dengan seorang pria tampan di tengah hutan. Anjani juga jadi sering mengalami kejadian mistis yang tak pernah ia alami seb...