Tujuh

843 49 6
                                    

Seorang perempuan berpenampilan mencolok baru saja datang dari arah pintu masuk. Perempuan itu menarik perhatian semua tamu undangan. Bagaimana tidak? Dia memakai kebaya merah berdada rendah dan rok span batik di atas lutut. Sudah di atas lutut, dibelah pula hingga ke paha.

Bukan hanya pakaiannya yang mencolok, tapi juga riasan wajahnya. Eyelash cetar membahana, pipi merona, bibir merah menggoda, ukh menor sekali.

"Perasaan pak RT ngundang penari jaipong deh, bukan penyanyi dangdut," Radit melanjutkan sambil terkekeh diikuti tawa lirih teman-temannya.

Berbeda dengan keempat pemuda lain, Galuh memilih untuk mengalihkan pandangan. Tidak baik jika terus dilihat.

Anjani melihat perempuan itu dengan seksama. Wajahnya seperti tidak asing. Kalau dia anak kampung sini sih, Anjani pasti kenal. Setidaknya tahu nama.

''Itu siapa emang?"

''Si Siti, ingat gak kamu?" Radit menjawab pertanyaan Anjani.

''Siti? Siti yang suka berantem sama aku?" Anjani memastikan.

''Iya."

"Wah, berani banget dia pakai baju begitu."

Benar, berani sekali dia. Memakai pakaian yang terbuka adalah hal yang tabu di desa. Kalau ada anak gadis yang pakai pakaian terbuka, pasti akan menjadi omongan tetangga. Apalagi kalau ditambah suka pulang malam dan diantar pria, uh, pasti jadi topik hangat pembicaraan.

''Itu kalau di sini disebutnya cafer, Jan!" jawab Danu, salah satu teman Radit.

Siti melihat ke arah sekumpulan muda-mudi itu, kemudian berjalan mendekat. Ketika ia berjalan, pinggulnya melenggak-lenggok, berayun mengikuti irama langkah kakinya.

''Ternyata pada ngumpul di sini!" ucap Siti.

Keenam orang itu hanya tersenyum simpul. Pandangan siti beralih pada Anjani. Perempuan itu melihat Anjani dari ujung kepala sampai ujung kaki.

''Ini siapa ya?"

''Masa lupa, Sit? Itu Anjani!" kata Radit mengingatkan.

''Oh, Anjani. Ya ampun, pangling aku. Kamu gendutan ya sekarang, Anjani!"

Senyuman Anjani menurun seketika. Apa maksudnya? Dia mau cari ribut?

Siti tersenyum, tapi Anjani merasa kalau gadis itu sedang mengejeknya.

'Kamu gendutan ya' adalah kata keramat yang tabu untuk diucapkan. Terutama kepada para kaum hawa. Berat badan itu topik yang sangat sensitif, tidak boleh diungkit.

''Haha, iya nih, Siti. Soalnya kan zaman sekarang cowok-cowok suka yang montok. Kamu sendiri, kok gak gede-gede sih, Ti?'' Anjani bertanya sambil melirik dada Siti.

Siti langsung menyentuh dadanya. Apa Anjani sedang menghinanya. Mentang-mentang punyanya lebih besar.

''Cih, mentang-mentang besar. Palingan juga karena sering dipegang orang!'' gumam Siti yang masih bisa didengar Anjani.

''Genetik emang gak bisa bohong ya. Kalau bibitnya bagus, gak diapa-apain juga tetep aja bagus.''

Wajah Siti berubah masam. Anjani, gadis itu memang selalu membuatnya kesal. Dari dulu hingga sekarang.

Anjani senang melihat ekspresi Siti. Makanya jangan coba-coba cari gara-gara dengannya. Lidah Anjani itu cukup tajam. Terkadang tidak sesuai dengan penampilannya yang terkesan alim.

Dari kecil, kedua perempuan itu sering bertengkar. Bahkan untuk hal-hal kecil. Contohnya saja dalam memilih idola.

Saat itu Indonesia sedang ramai-ramainya mengeluarkan boyband dan girlband. Ada sebuah boy grup beranggotakan 7 orang. Kebetulan Anjani dan Siti punya bias yang sama. Tak rela akan hal itu, Siti marah dan menyuruh Anjani memilih member lain saja, tapi Anjani tak mau. Akhirnya Siti menyuruh teman-teman lain untuk menjauhi Anjani.

SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang