Tiga

993 56 0
                                    

Anjani berjalan sembari berjingkrak riang menyusuri jalan setapak. Bibirnya menyanyikan senandung lagu sunda. Tangannya menyentuh rumput ilalang di sepanjang jalan.

Tadi, neneknya menyuruh Anjani untuk membeli kopi dan beberapa bumbu dapur ke warung. Walau sudah lima tahun berlalu, Anjani masih ingat sedikit banyak tentang jalanan kampung. Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena telah memberikan Anjani ingatan yang baik.

"Mapai jalan satapak, ngajugjug kahiji lembur... Teu karasa capena, sabab aya nu diteang..." Anjani mengepalkan tangannya di depan bibir seperti sebuah mic.

"Hujan angin, dor dar gelap..."

BRAK!

"Eh, coplok. Astagfirullah..."

Anjani terkejut melihat seorang pengendara motor yang terjatuh di depannya. Gadis itu segera berlari untuk menolongnya. Anjani menegakkan kembali motor yang menimpa pengendaranya, kemudian menarik standar dengan kakinya agar motor itu bisa berdiri.

"Ya Allah. Aa gakpapa?" tanya Anjani beralih kepada si pengemudi.

Basa basi Anjani terlalu basi sebenarnya. Jelas-jelas pria itu terluka, masih saja ditanya.

Anjani meringis melihat keadaan pria itu. Celana di bagian lututnya sobek, kotor oleh debu dan darah. Jalan setapak yang dilalui penuh dengan kerikil kasar. Mungkin lututnya bergesekkan cukup keras dengan kerikil-kerikil itu.

"Gakpapa, cuma kayaknya tangan saya terkilir," jawab pria itu. Ngomong-ngomong, kalau terkilir sih udah kenapa-kenapa berarti.

"Aa rumahnya di mana? Biar saya anter!" Anjani berinisiatif untuk mengantar orang itu.

"Eh, gak usah Neng. Saya bisa kok pulang sendiri!" tolak pria itu sungkan.

"Eh, ari si Aa. Tangan terkilir gitu mana bisa nyetir sendiri atuh. Udah percaya aja sama saya mah. Saya jago ngendarain motor kok!" ucap Anjani sambil memutar balikan motor pria itu.

Karena Anjani tetap ngeyel, akhirnya mau tidak mau pria itu menerima bantuannya. Toh dia memang tidak bisa mengendarai motornya.

Pria itu kemudian naik ke jok motor dan duduk di paling ujung. Sebelah tangannya yang baik-baik saja memegang behel motor, memberi jarak sejauh mungkin agar tidak bersentuhan dengan Anjani. Anjani pun mulai menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.

Mereka berdua sampai di sebuah jembatan sempit yang melintang di atas sungai. Jembatan itu cukup panjang dan tidak ada pembatas di kedua sisinya. Pria yang dibonceng Anjani menelan ludahnya kasar. Dia khawatir Anjani tidak bisa melewatinya. Jantungnya saja selalu merinding disko tiap kali melewati jembatan itu.

"Neng, hati-hatIII..."

Pria itu mengeraskan suaranya diakhir karena Anjani tiba-tiba saja mempercepat laju motornya. Gadis itu melaju tanpa rasa takut.

"ASTAGFIRULLAH, YA ALLAH YA RAB, ALLAHU AKBAR, GUSTI NU AGUNG!" pria itu terus berucap mengingat sang Maha Kuasa. Entah kenapa dia kembali teringat dosa-dosanya yang lalu.

Pria itu baru bisa bernapas lega setelah mereka berdua berhasil melewati jembatan itu dengan sehat wal afiat. Dia tidak tahu harus memanggil Anjani apa. Berani atau semberono.

Setelah menempuh perjalanan yang tidak panjang, akhirnya mereka sampai di rumah pria itu. Pria itu mengucapkan salam dan memanggil ayahnya. Seorang bapak-bapak dengan penampilan khas ustadz keluar dari rumah.

"Astagfirullah, kamu teh kenapa Galuh?" tanya bapak itu sambil membopong putranya, kemudian pria itu didudukan di kursi yang ada di teras.

"Jatuh dari motor, Pak! Untung ada Neng itu yang tolongin."

SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang