Sembilan

807 50 2
                                    

Anjani datang ke sebuah warung kopi yang menjual lotek dan karedok sayur. Biasanya kalau siang hari, warung itu akan dipenuhi oleh ibu-ibu. Baru ketika malam tiba, bapak-bapak yang akan memenuhi warung.

''Teh, beli lotek lima ribuan tiga dibungkus ya! Yang dua jangan dikasih cabe, yang satunya kasih tiga biji aja,'' ucap Anjani kepada teteh pemilik warung.

Sembari menunggu pesanannya jadi, Anjani duduk di bangku yang sedikit terpisah dari ibu-ibu. Walaupun begitu, Anjani masih bisa mendengar apa yang ibu-ibu itu bicarakan.

''Ceu, itu si Siti anaknya bu Yati, pulang dari Hongkong bajunya ya ampun. Seksi banget. Bapak-bapak langsung aja jelalatan!" seorang ibu mengawali topik gosip.

''Iya, ih. Kalau saya jadi ibunya, marahin aja itu anak. Kayak gak diajarin sopan santun aja,'' timpal ibu lainnya.

''Eh, Eceu! Saya denger-denger dia pasang susuk pemikat biar keliatan cantik!"

Ibu-ibu lain yang mendengar kabar itu terkejut dengan mulut terbuka. Anjani yang mendengarnya juga jadi ikut kaget.

Ya ampun, kabar dari mana itu? Kalau tidak benar kan jatuhnya jadi fitnah.

''Ih, masa sih? Si Eceu, jangan ngomong sembarangan ah.''

Anjani masih saja fokus mendengarkan pembicaraan mereka. Bukan maksud menguping, tapi kan walaupun enggak didengar juga masih tetap kedengaran. Makanya mau tidak mau Anjani dengarkan.

''Neng, ini loteknya!"

Ucapan teteh yang punya warung membuat fokus Anjani teralihkan. Ia mengambil pesanannya, lalu membayarnya.

Tak berlama-lama di sana, Anjani langsung berjalan pulang. Sepanjang jalan, Anjani memikirkan perkataan ibu-ibu itu.

Anjani pikir Siti tidak mungkin pakai yang namanya susuk deh. Setahu Anjani, gadis itu memang sudah cantik dari kecil. Tanpa susuk pun penampilannya sudah menarik. Lagipula katanya dia baru pulang dari Hongkong setelah tiga tahun jadi TKW di sana. Emang di sana ada susuk?

''Anjani!"

Anjani menengok ke arah sumber suara. Galuh mendekat dengan motor bebeknya.

''Butuh tumpangan?" tawar Galuh.

''Ah, enggak usah repot-repot. Udah deket kok A, bentaran lagi juga nyampe rumah," Anjani menolak. Memang masih agak jauh sampai rumah, tapi tak apa untuk jalan kaki. Hitung-hitung olahraga.

''Yakin?"

Anjani memikirkan ulang jawabannya. Setelah dipikirkan, jalan kaki cukup melelahkan.

''Baiklah, aku ikut!"

Galuh tersenyum dan Anjani naik ke jok. Saat naik, gadis itu memegang pundak Galuh sebagai pegangan.

Setelah memastikan Anjani duduk dengan nyaman, Galuh melajukan motornya. Selama perjalanan, meraka saling melempar candaan.

Di tengah jalan, mereka melewati Siti. Siti terus melihat ke arah motor Galuh walaupun sudah pergi menjauh. Tatapannya sulit dideskripsikan.

*****

Siti berjalan melenggak-lenggok ke arah sekumpulan pemuda di pos ronda. Sesekali ia mengibaskan rambut cokelat ikalnya ke belakang bahu. Skinny jeans dan kaos crop top lengan pendek terlihat sangat pas di tubuh rampingnya.

Bohong kalau para pemuda itu tidak terpesona akan kecantikannya.

Ngomong-ngomong, keempat pemuda itu tengah bermain kartu remi. Hanya untuk bersenang-senang saja, tanpa taruhan. Lagipula taruhan itu sama saja dengan berjudi.

SwastamitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang