8. Mimpi Buruk

2K 50 0
                                    

"Kenapa kamu masih tidur, Seika? Coba lihat sekarang jam berapa? Apa kamu ingin terlambat bekerja?"

Seika meringis kesakitan sambil mengusap kepalanya yang baru saja dipukul oleh Satria lantas mengedarkan pandang ke sekitar seolah-olah mencari sesuatu.

Seika masih ingat dengan jelas kalau dia tadi bertemu dengan Devan ketika menunggu bus di halte lalu mereka mengantar Cherry pergi ke sekolah bersama. Namun, Devan tiba-tiba saja mendekat dan ingin mencium bibirnya.

Di mana lelaki itu sekarang?

"Kamu nyari apa, Seika?"

"Devan, mana?" tanya Seika polos. Sepertinya nyawa gadis itu belum terkumpul sepenuhnya.

Kening Satria berkerut dalam mendengar pertanyaan Seika barusan karena nama lelaki itu terdengar asing di telinganya.

"Siapa, Devan?"

Mulut Seika sontak menganga lebar. Sepertinya gadis itu baru menyadari kalau kejadian yang dialaminya bersama Devan tadi ternyata hanya mimpi.

Kenapa di dalam mimpi Devan juga menyebalkan?

"Siapa Devan, Seika? Apa dia kekasih barumu?" Satria kembali bertanya karena Seika malah asyik dengan pikirannya sendiri.

"Ti-tidak. Dia bukan siapa-siapa," jawab Seika terbata-bata.

"Sungguh?" Satria menatap Seika dengan lekat karena gadis itu terlihat sangat gugup sekarang.

"Iya, Bang Sat."

Kedua mata Satria sontak membulat. "Abang akan memukul kepalamu lagi kalau memanggil abang, Bang Sat."

Seika malah terkekeh. Entah sudah berapa kali Satria menyuruhnya agar berhenti mamanggil 'Bang Sat' karena panggilan itu terdengar seperti makian. Bukannya berhenti, dia malah terus memanggil Satria 'Bang Sat'.

"Cepat mandi sana! Abang tunggu kamu di ruang makan."

"Siap, Bang." Seika memberi hormat pada Satria lalu beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri setelah itu bersiap-siap pergi bekerja.

Seika memakai kaos putih polos yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak dan celana jeans berwarna biru dongker. Dia selalu mengikat rambutnya ala ponytail. Make up tipia sudah membuat Seika terlihat cantik.

Seika langsung menghampiri Satria yang sudah menunggunya di meja makan karena mereka akan sarapan bersama. Di atas meja makan tersebur sudah tersedia nasi, telur dadar, dan tumis kangkung. Seika pun mengambil sebuah piring lalu mengisinya dengan nasi yang lumayan karena perutnya memang sangat lapar.

Satria menatap nasi yang ada di piring Seika dengan mulut menganga lebar karena porsi makan adiknya itu sangat banyak. "Apa nasimu tidak kebanyakan, Dek?"

Seika menggeleng pelan. "Apa Bang Sat tidak bisa lihat?"

"Liha apa?" tanya Satria tidak mengerti.

"Tubuhku sangat kecil. Aku harus makan yang banyak agar cepat besar."

Satria mendesah panjang mendengar jawaban yang keluar dari bibir mungil Seika. "Mana ada yang seperti itu? Makan banya tidak  menjamin kamu cepat besar, Seika. Kamu ini ada-ada saja."

Seika malah tersenyum membuat kedua matanya yang sipit membentuk sebuah garis. Gadis itu benar-benar menggemaskan.

"Mau berangkat kerja bareng abang?" tawar Satria.

"Mau ...," jawab Seika setelah menelan habis makanannya. "Lumayan bisa menghemat ongkos," ujarnya sambil tertawa.

Satria cepat-cepat menyelesaikan sarapannya karena dia lupa belum memanasi mesin motornya. Dia meminta Seika untuk mencuci piring kotor bekas mereka sarapan sebelum berangkat ke kantor.

"Aduh!"

Satria sontak menoleh, menatap Seika  yang meringis kesakitan sambil memegangi kakinya.

"Kenapa kursi ini bisa ada di sini, sih?" gerutu Seika terdengar kesal padahal kursi tersebut tidak pernah berpindah tempat dan selalu berada di samping pintu masuk. Gadis itu memang ceroboh.

Satria pun memasang sebuah helm ke kepala Clara setelah itu meminta sang adik untuk naik ke atas motornya. Dia akan mengantar Seika pergi bekerja.

"Ayo ngebut, Bang Sat!" seru Seika ketika mereka sudah berada di jalan raya.

"Gundulmu!" Satria memutar bola mata malas. Apa Seika ingin mati konyol karena kecelakaan?

Seika malah terkekeh mendengarnya. Tiga puluh menit kemudian mereka tiba di tempatnya bekerja. Dia pun segera turun dari motor Satria lalu mengucapkan terima kasih.

"Terima kasih, Bang Sat."

"Bilang apa kamu!?"

"Ish ...." Seika mengerucutkan bibir kesal karena Satria memukul helm yang masih ada di kepalanya.

"Jangan panggil abang, Bang Sat! Kedengarannya tidak enak sama sekali," ucap Satria kesal.

Seika malah terkekeh. "Bang Sat itu panggilan kesayangan tau ...."

Satria memutar bola mata malas karena Seika selalu saja bisa membalas ucapannya.

"Oi, Bara!"

Lelaki bernama Bara itu sontak berhenti melangkah karena mendengar suara Seika.

"Tunggu aku!" Seika buru-buru pamit pada Satria lalu berlari kecil menghampiri Bara. "Bang Sat, Seika kerja dulu, ya?"

"Seika, helm!" teriak Satria sambil menunjuk helm yang ada di kepala Seika.

Seika sontak berhenti lalu berbalik menghampiri Satria. "Maaf, Sika lupa," ucapnya sambil melepas helm lalu memberikan benda itu pada Satria.

"Aku titip Seika ya, Ra?" teriak Satria pada lelaki yang dipanggil Seika tadi.

Bara mengangkat kedua jempolnya ke atas untuk menanggapi ucapan Satria lalu segera masuk ke kantor bersama Seika.

Satria menatap gedung yang memiliki simbol huruf D besar di bagian depan dengan lekat. Tidak terasa sudah dua bulan lebih Seika bekerja di sana. Semoga saja Seika betah dan tidak membuat masalah seperti di tempat kerja sebelumya.

Gadis Lugu Milik CEO DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang