9. Bikin Pusing

1.9K 44 0
                                    

Suasana di dalam kantor masih terlihat sepi karena sekarang memang belum masuk jam kerja. Namun, Seika dan Bara selalu berangkat lebih awal dari karyawan yang lainnya.

"Selamat pagi, Pak Bara," sapa seorang petugas keamanan yang berpapasan dengan mereka.

Bara hanya menganggukkan kepala singkat sebagai balasan.

Seika diam-diam memperhatikan Bara yang berjalan tepat di sampingnya. Lelaki berusia dua puluh empat tahun itu terlihat sangat tampan dalam balutan kemeja berwarna biru navy dan celana bahan berwarna senada. Kaca mata minus yang bertengger di hidung mancungnya membuat kadar ketampanan Bara semakin bertambah.

"Kamu terlihat tampan sekali hari ini. Kenapa kamu tidak mau menjadi pacarku?"

Bara menghela napas panjang karena dia tahu jika Seika hanya menggodanya. "Kamu tahu sendiri kan, kalau aku—" Bara menatap Seika dengan lekat dan gadis itu mengangguk paham.

Bara benar-benar sosok suami idaman. Tidak sedikit perempuan yang menaruh hati pada dirinya, tapi Bara tidak menyukai perempuan.

"Sayang sekali kamu tidak suka perempuan, padahal kamu itu tipeku." Seika meninju perut Bara pelan. Perut lelaki itu terasa sangat keras. Apa Bara makan batu?

Tiga menit kemudian mereka tiba di loker khusus petugas kebersihan. Seika segera mengambil baju kerjanya lalu melepas kemeja dan kaos yang dipakainya di depan Bara.

Bara yang melihatnya sontak membuang muka ke arah lain. "Kamu mau ganti baju di sini?"

"Memangnya kenapa?" Seika melepas kemejanya begitu saja, menyisakan sebuah tank top berwarna hitam yang menutupi tubuh bagian atasnya. "Apa kamu mulai menyukaiku?" tanyanya sambil menaik turunkan kedua alisnya menggoda Bagas.

Bara menatap Seika dari atas sampai bawah seolah-olah menilai penampilan gadis itu. "Bagian depan belakang rata semua. Mana mungkin aku menyukaimu, Seika? Kamu itu bukan seleraku."

Seika mendengkus kesal karena ucapan Bara membuatnya teringat dengan mimpi yang di alami bersama Devan semalam. Entah kenapa ucapan pedas papa kandung Cherry itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.

"Apa kamu tahu, Bara? Ukuran BH aku itu tiga puluh empat. Masa segini dibilang rata?" Seika memperhatikan dadanya sendiri yang menurutnya berukuran lumayan besar.

Bara menghela napas panjang. Meskipun dia tidak menyukai perempuan, Seika seharusnya tidak mengatakan hal seperti itu pada dirinya.

Apa gadis itu tidak malu?

Rasanya Bara ingin sekali membenturkan kepala Seika ke loker yang ada di sampingnya agar gadis itu bisa bersikap lebih manusiawi ketika bersama dirinya.

"Aku ini seorang laki-laki, Seika. Apa kamu tidak malu bicara seperti itu?"

"Tidak. Kamu kan, tidak suka sama perempuan," jawab Seika sambil terkekeh.

Bara berdecak kesal. "Tapi tetap saja aku ini laki-laki!"

"Siapa juga yang bilang kamu itu perempuan?"

Bara kembali menghela napas panjang sambil memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa penat karena dia selalu kalah jika berdebat dengan Seika. "Kamu jangan pernah melakukan hal ini di depan lelaki lain. Mengerti?!"

"Memangnya kenapa?" Seika menatap Bara dengan lekat. "Kamu cemburu, ya?"

"Seika!"

"Tidak akan." Seika terkekeh pelan. Entah kenapa dia suka sekali menggoda Bara.

Bara meminta tolong Seika untuk membuatkannya kopi setelah gadis itu selesai memakai seragam kerjanya. Hidup sendiri di apartemen membuat Bara tidak sempat membuat kopi sebelum pergi bekerja.

"Terima kasih, Seika." Bagas menyesap secangkir kopi panas yang ada di tangannya. Kopi buatan Seika rasanya sangat enak. Semua karyawan kantor pun mengakui hal itu.

"Sama-sama."

"Aku akan mentraktirmu makan siang nanti."

"Sungguh?" Kedua mata Seika sontak berbinar.

Bara mengangguk lalu melihat jam tangan Rolex yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Sepertinya kita harus bekerja sekarang. Semangat!" ucapnya sambil mengusap puncak kepala Seika dengan gemas.

Seika mengerucutkan bibir kesal karena Bara membuat rambutnya berantakan. "Aku benar-benar akan membuatmu jatuh hati padaku kalau kamu terus bertingkah manis seperti ini, Bara!"

Bara hanya tertawa mendengar ancaman Seika sambil melambaikan tangannya acuh tak acuh.

***

Semua pelayan yang ada rumah Devan terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang memasak, membersihkan rumah, juga membujuk nona muda mereka. Entah kenapa Cherry rewel sekali hari ini. Anak itu tidak mau mandi, tidak mau makan, bahkan tidak mau pergi ke sekolah karena Devan melarangnya bertemu dengan Seika.

"Papa ayo cari mama ...." Cherry lagi-lagi merengek ingin bertemu dengan Seika.

Devan dengan tegas menjawab 'tidak' karena mama Cherry sampai kapan pun hanyalah Elea. Entah sihir apa yang Seik miliki hingga bisa membuat Cherry memanggil gadis itu mama. Padahal mereka tidak pernah bertemu sebelumnya.

"Papa, jahat! Papa nggak sayang lagi sama Cherry!"

Devan mengembuskan napas panjang karena cuma mamanya yang bisa membujuk Cherry jika sedang merajuk seperti sekarang. Namun, mamanya sedang tidak ada di rumah karena pergi ke Jepang untuk mengunjungi kakeknya yang tinggal di sana.

Devan menyesap secangkir kopi yang ada di hadapannya. Dia butuh kafein agar kewarasannya tetap terjaga. Namun, entah kenapa rasa kopi di rumahnya tidak seenak yang ada di kantor. Padahal kualitas kopi di rumahnya jauh lebih baik dari pada di kantor.

"Apa jadwalku hari ini?" Devan meletakan secangkir kopinya yang terlihat masih utuh kembali di atas meja.

Pramudya pun memeriksa agenda Devan hari ini. "Anda harus menghadiri rapat  penting dengan perusahaan Kingdom Group, Tuan. Setahu saya, Anda sangat ingin bekerja sama dengan perusahaan tersebut."

Kening Devan berkerut dalam karena dia mamang sudah lama ingin bekerja sama dengan perusahaan Kingdom Group. Devan yakin sekali perusahaannya akan semakin berkembang jika bergabung dengan Kingdom Group.

Tapi bagaimana dengan Cherry? Dia tidak mungkin meninggalkan anak perempuannya itu di rumah sendirian.

Haruskah dia membawa Cherry ke kantor?

Gadis Lugu Milik CEO DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang