33. Denial

1.6K 44 0
                                    

Suasana di keluarga Marcellio terasa sangat berbeda pagi ini. Biasanya di meja makan hanya ada Diana, Cherry, dan Devan. Tidak jarang Diana dan Cherry sarapan berdua karena Devan harus berangkat ke kantor lebih awal. Namun, Seika sekarang ikut sarapan bersama mereka. Suasana pun terasa lebih hangat dari pada bisanya.

"Mama, Cherry mau roti sama selai cokelat lagi."

"Tunggu sebentar, ya. Kakak buatin dulu."

Cherry mengangguk. Seika pun segera mengambil satu lembar roti lalu menambahkan selai cokelat di atasnya sesuai permintaan Cherry.

Biasanya yang menyiapkan sarapan untuk Cherry adalah pelayan. Tetapi yang menyiapkannya sekarang Seika. Gadis itu bahkan menyuapi Cherry saat makan.

"Bagaimana rasanya? Enak?"

"Enak sekali, Ma. Terima kasih."

"Sama-sama. Makannya pelan-pelan, ya," ucap Seika sambil membersihkan sudut bibir Cherry yang kotor karena selai cokelat.

Diana diam-diam tersenyum melihat apa yang Seika lakukan pada Cherry. Dia bisa melihat dengan jelas jika gadis itu sangat menyayangi cucunya. Seika bahkan selalu mengutamakan Cherry dari pada dirinya sendiri.

Devan sebenarnya juga merasakan hal yang sama. Dia bahkan merasa keluarga kembali untuh semenjak ada Seika. Namun, dia berusaha menepis perasaan itu.

"Mama nggak makan?" Cherry bertanya karena Seika sejak tadi terus menyuapinya.

"Kakak makan kok, tapi nanti. Sekarang Cherry makan dulu, ya."

"Sebaiknya kamu juga makan, Seika," ujar Diana yang duduk di meja paling ujung.

"Saya makan nanti saja, Tante," tolak Seika halus.

"Kalau saya bilang makan sekarang, makan!" ucap Diana tidak bisa dibantah.

Devan diam-diam tersenyum geli melihat Seika yang tidak berdaya menghadapi mamanya. Padahal gadis itu selalu berani melawannya.

"Ta-tapi, Tante ...."

"Tidak ada tapi-tapian. Mbak, siapkan sarapan untuk Seika," pinta Diana pada seorang pelayan, tapi Seika malah menolak.

"Tidak perlu repot-repot, Mbak. Saya bisa menyiapkannya sendiri." Seika pun meraih satu lembar roti tawar lalu menambahkan selai stroberi di atasnya. Gadis itu makan dengan canggung karena teringat dengan kejadian pagi tadi.

Bagaimana bisa Diana melihatnya tidur satu ranjang bersama Devan? Wanita itu pasti memikirkan hal yang tidak-tidak tentang dirinya.

"Sudah berapa lama kamu menjadi pengasuh Cherry, Seika?" Pertanyaan Diana barusan sukses membuat Seika tergagap.

"Belum lama kok, Tante. Mungkin sekitar satu minggu."

"Oh." Diana mengangguk-angguk. "Baru satu minggu tapi Devan sudah berani mengajak kamu tidur di kamarnya."

"Uhuk!" Devan yang sedang menikmati kopinya seketika tersedak mendengar ucapan Diana. "Sudah berapa kali Devan katakan. Devan dan Seika tidak melakukan apa-apa, Ma. Kami hanya tidur," ucapnya setelah bisa mengatur napas.

"Ya, siapa yang tahu." Diana mengangkat kedua bahunya ke atas seolah-olah tidak peduli dengan apa pun yang Devan katakan. "Andai saja mama tadi pagi tidak membuka pintu. Kamu pasti sudah melakukan hal yang tidak-tidak pada Seika."

"Mama." Devan meletakkan garpunya lumayan keras, merasa kesal karena Diana menuduhnya yang tidak-tidak.

"Kamu sudah terlalu lama sendiri, Van. Tanpa kamu sadari kamu sebenarnya membutuhkan sosok istri. Mau sampai kapan kamu hidup seperti ini?"

"Sudah berapa kali Devan katakan. Devan tidak mau menikah lagi, Ma." Suara Devan terdengar sedikit meninggi. Sumpah demi apa pun Devan malas sekali jika Diana mulai membahas soal pernikahan.

Devan tidak akan menikah lagi meskipun Diana menyuruhnya untuk menikah sampai ribuan kali karena dia sudah berjanji pada mendiang istrinya untuk tetap setia.

"Tapi kamu butuh sosok istri, Van. Cherry juga butuh sosok ibu! Turunkan sedikit egomu! Menikahlah dengan Seika demi Cherry."

"Apa, Seika?" pekik Devan tidak percaya.

Seika yang mendengar namanya disebut sontak menatap Diana dan Devan yang sedang bersitegang di meja makan.

"Iya. Mama ingin kamu menikah dengan Seika."

Seika tersentak mendengar ucapan Diana barusan, begitu pula dengan Devan.

"Apa Mama sudah tidak waras?" Devan refleks menggebrak meja dengan cukup keras hingga membuat Cherry terlonjak kaget.

Seika pun cepat-cepat mengajak anak itu meninggalkan ruang makan agar tidak mendengar pertengkaran papa dan neneknya.

"Cherry, kita makan di sana, yuk!"

Cherry mengangguk. Tanpa banyak kata anak itu mengikuti Seika ke ruang tengah.

"Kenapa Mama tiba-tiba menyuruh Devan menikah sama Seika?" Devan benar-benar tidak habis pikir. Entah setan apa yang susah merasuki pikiran Diana hingga menyuruhnya menikah dengan Seika.

"Mama masih sangat waras, Devan. Justru kamu sepertinya yang tidak waras di sini. Apa kamu tidak bisa lihat? Seika sayang sekali sama Cherry. Dia bahkan merawatmu semalaman sampai tidak memedulikan kesehatannya sendiri. Seika gadis yang sangat baik, Devan. Mama yakin sekali dia bisa menjadi istri dan mama yang baik untuk Cherry. Menikahlah dengan Seika," pinta Diana sekali lagi.

"Tidak mau!"

"Marcellio Devan!" Kedua tangan Diana yang ada di atas meja mengepal kuat karena Devan lagi-lagi menolak permintannya.

"Istri Devan cuma Elea, Ma. Tidak ada yang lain! Jangan memaksa Devan untuk menikah lagi!" Devan beranjak dari tempat duduknya, meninggalkan Diana sendirian di meja makan.

"Mama belum selesai bicara, Devan! Devan!"

Devan tidak peduli, di terus melangkah menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Dia berhenti sebentar ketika tiba di ruang tengah, menatap Seika yang sedang menyuapi Cherry dengan pandangan yang sulit sekali diartikan.

Andai saja Seika tidak pernah hadir di kehidupannya, perasaannya pada Elea tidak akan goyah dan Diana tidak mungkin memaksanya menikahi gadis itu.

Devan tersentak, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat karena Seika tiba-tiba menoleh ke arahnya. Tanpa sengaja tatapan kedua matanya bertemu dengan Seika dan terkunci cukup lama.

Devan pun cepat-cepat memutus tatapan kedua matanya lalu kembali berjalan menuju kamarnya. Dia harus bisa membentengi hatinya agar tidak jatuh hati pada Seika.

"Maafkan saya, Elea. Saya berjanji tidak akan membuatmu kecewa lagi," gumamnya tepat di depan foto mendiang istrinya yang ada di kamar.

***

Diana meneguk segelas air putih yang ada di hadapannya hingga tandas. Kekesalan tergambar jelas di wajahnya yang sudah tidak lagi muda. Sebagai seorang ibu Diana bisa melihat dengan jelas jika Devan tertarik dengan Seika. Tapi putra kesayangannya itu tidak mau mengakui perasaannya dan lebih memilih mempertahankan janjinya pada mendiang sang istri. Padahal Elea sudah meninggal lumayan lama dan Diana yakin sekali Elea pasti tidak suka melihat Devan mejalani hidup yang menyedihkan seperti ini.

"Astaga, kepalaku." Diana memijit kepalanya yang mendadak pusing. Sepertinya tekanan darahnya naik gara-gara memikirkan Devan.

"Tante baik-baik saja?"

Diana refleks membuka kedua matanya, lalu tersenyum pada Seika yang sedang menatapnya dengan khawatir. "Saya baik-baik saja, cuma agak pusing."

"Mau saya ambilin obat?"

Diana menggeleng pelan. "Tidak perlu, Seika."

Seika tanpa sadar menggigit bibir bagian bawahnya sambil meremas jemari tangannya yang terasa dingin. Rasanya dia ingin sekali bertanya kenapa Diana tiba-tiba menyuruh Devan untuk menikahinya. Namun, dia terlalu takut untuk menanyakannya.

Gadis Lugu Milik CEO DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang