31. Sweetest Moment 2

1.9K 49 0
                                    

"Bagaimana keadaan Nona Cherry, Tuan?" tanya Pramudya ketika selesai menemani Devan rapat.

"Sudah jauh lebih baik, Pak."

"Syukurlah, Tuan. Saya senang mendengarnya."

"Terima kasih, Pak. Untung saja ada Seika. Kalau tidak ada Seika saya pasti tidak bisa bekerja dengan tenang karena memikirkan Cherry."

Devan mendudukkan diri di kursi kebanggaannya lalu memijit pelipisnya yang terasa penat. Devan merasa lelah karena pekerjaannya beberapa hari ini sangat banyak dan lumayan menyita waktu istirahat juga tenaganya. Dia bahkan selalu pulang larut malam untuk menyelesaikan pekerjaannya.

"Anda baik-baik saja, Tuan?"

"Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Tolong minta OB untuk membuatkan saya kopi dan—" Devan memejamkan kedua matanya erat-erat karena kepalanya mandadak pusing. Wajahnya pun terlihat sedikit pucat, tapi Devan tetap memakasakan diri untuk bekerja. "Apa Bapak sudah menyiapkan laporan yang saya minta?"

"Sudah, Tuan." Pramudya memberikan berkas yang Devan minta lalu meminta OB agar membuat kopi untuk bos-nya itu.

"Terima kasih, Pak."

"Sama-sama, Tuan."

Devan langsung memeriksa tumpukan berkas yang ada di atas meja kerjanya selepas kepergian Pramudya mengabaikan kepalanya yang berdenyut sakit. Namun, semakin lama kepalanya semakin terasa sakit. Devan pun melepas kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya lalu menyandarkan punggunggnya di kursi.

Napas Devan terdengar berat, badannya agak demam dan setitik keringat dingin keluar membasahi pelipisnya. Sepertinya Devan sedang kurang enak badan.

Tiba-tiba saja pintu ruangannya diketuk Pramudya dari luar. Devan pun segera menyuruh sekretaris sekaligus orang kepercayaannya itu untuk masuk.

Pramudya masuk ke ruangan Devan sambil membawa berkas yang Devan minta. Lelaki paruh baya itu tersentak ketika melihat wajah Devan yang pucat. "Anda baik-baik saja, Tuan?" tanyanya terdengar panik.

"Kepala saya pusing sekali, Pak."

"Sepertinya Tuan sedang kurang enak badan. Sebaiknya Anda pulang sekarang."

"Tapi ...." Devan ingin menolak karena dia harus menghadiri pertemuan dengan klien penting sore ini. Namun, Pramudya terus memaksanya untuk pulang.

"Saya akan menghandle semua pekerjaan, Tuan. Sebaiknya Tuan pulang sekarang dan beristirahat."

Devan menghela napas panjang. Dia tidak membantah lagi karena dia memang butuh istirahat. "Baiklah kalau begitu. Saya pulang sekarang. Telepon saya kalau ada sesuatu."

Pramudya mengangguk patuh. "Baik, Tuan. Saya akan meminta sopir untuk mengantar Anda pulang. Semoga Anda lekas sembuh."

"Terima kasih, Pak." Devan meraih ponselnya yang ada di atas meja lalu beranjak meninggalkan ruangannya. Dia terus memejamkan mata selama di perjalanan karena kepalanya terasa pening luar biasa. Suhu tubuhnya pun semakin terasa panas.

"Kita sudah sampai, Tuan."

Devan membuka kedua matanya perlahan lalu mengedarkan pandang ke sekitar. Ternyata mobil yang mengantarnya sudah berhenti tepat di depan rumahnya. Devan pun melepas sabuk pengaman yang terpasang di tubuhnya lalu turun.

"Apa Anda butuh bantuan, Tuan?"

Devan menggeleng pelan. Dia merasa mampu berjalan sendiri ke rumahnya meskipun kepalanya sakit lalu mengetuk pintu kayu yang ada di hadapannya.

Seika yang sedang menemani Cherry bermain di ruang tengah sontak menoleh ketika mendengar pintu rumah Devan diketuk dari luar.

Siapa yang datang? Apa mungkin Devan?

Gadis Lugu Milik CEO DudaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang