P. Sudah pecah

323 44 1
                                    

Setelah memaksa Khaesang dengan seribu kali ancaman, pada akhirnya anak itu menurut dengan tenang pulang kerumah. Jaya jadi lega karena berhasil membawa pulang anak cebongnya yang satu ini.

Khaesang turun dari mobil ayahnya dengan bersungut-sungut, meninggalkan presensi Satya yang duduk di kemudi hendak menyampaikan sesuatu. Belum sempat terucap anak dari bos nya tersebut malah sudah melengos pergi.

Jaya yang lihat terkikik tepat di sampingnya. Menatap ejek ke arah sekretarisnya itu. "Baru kali ini liat kamu di abaikan."

Dengan santai Satya menjawab, "baru sekali, Pak Jaya sudah berulang kali,"

Jawaban yang mencelos hati Jayabrata seketika membuat tawa bahagianya pudar. Berganti dengan wajah masam, kemudian dirinya memilih turun dari mobil. Sebelum itu, Jaya berucap, "malam ini lembur!"

Dan berakhir lah nasib Satya.

Khaesang masuk ke dalam rumah dengan brutal, hendak langsung menuju kamarnya di lantai dua sebelum seonggok tubuh manusia di ruang tamu merebut atensi. Dia kemudian mendengus kesal melihat presensi orang yang sangat membuatnya benci untuk bertemu, setidaknya hari ini.

"Jam kerja buat pembantu udah selesai, ngapain anda disini?!" seru Khaesang kesal dengan tangan berkacak di pinggangnya.

"Rumah ngga open house buat pasien RSJ silahkan angkat kaki," ucapan Khaesang dibalas pula oleh seseorang yang saat ini duduk manis di sofa sambil mengelap beberapa piala dan medali yang berkilauan.

Khaesang mendengus, beralih ikut duduk di ruang tamu juga. Menatap tajam seseorang yang diketahui pernah berbagi rahim dengannya selama sembilan bulan. "Pergi ngga Lo!" usirnya.

"Mohon maaf setengah warisan atas nama Whisang Pratama. Dan itu adalah saya, jadi anda tidak berhak mengusir," balas Whisang dengan kalimat mengejek.

Sang kembaran pun naik pitam, langsung menendang dengan brutal kaki Whisang yang masih duduk anteng dengan semua pialanya.

"Aw! Sakit Gila!" ringis Whisang sebab dua kali Khaesang menendang kakinya yang dari tadi hanya diam.

"Pergi ngga Lo! Pergi ngga!"

"Suka suka yang punya warisan lah! EEE BUSET PIALA GUE!" Pekik Whisang kala pialanya hendak di lempar oleh kembarannya.

Khaesang berdiri dan meninggikan piala yang dirinya ambil paksa. Ancang-ancang akan melempar ke lantai membuat Whisang was-was bukan main. Pada akhirnya keduanya berakhir saling berlarian ke penjuru rumah.

Jaya yang sedari tadi memperhatikan di pintu masuk hanya mampu geleng-geleng kepala melihat tingkah laku kedua anaknya tersebut. Ingin melerai, tapi sudah lelah sebab seharian harus mengurus berbagai hal. Berakhir dirinya pergi langsung menuju kamarnya.

"SINIIN ANJIR, SANG!"

"OGAH! PERGI DULU NGGA LO!"

"INI RUMAH GUE YA!"

"RUMAH GUE JUGA!"

"NGGA! LO TUH CUMA UPIL YANG SINGGAH DI TEMBOK RUMAH GUE!"

"BJIR! MINTA GUE GEBUK MULUTNYA, YAH!"

Mereka masih berlarian di dalam rumah, dengan Khaesang yang menghindari Whisang mengambil sandera piala di tangannya. Tibalah saat akan kabur ke lantai dua, kaki Khaesang yang belum siap untuk naik ke tangga nomer satu, tersandung hampir tersungkur ke lantai.

Namun sebelum itu, Whisang dengan cepat memeluk pinggang kembarannya agar tidak terjerembab. Walau akhirnya piala yang jadi korbannya sebab terlepas dari genggaman. Khaesang terkejut dengan tindakan Whisang barusan.

Pyar

Piala emas dengan tiga tingkat itu hancur setelah menghantam lantai. Menyisakan keheningan diantara dua anak manusia yang saat ini memiliki suasana hati yang berbeda. Khaesang melirik pada saudaranya dengan wajah terkejut.

Sementara Whisang menatap nanar piala itu. Hasil kejuaraan lomba cerdas cermat yang dia peroleh saat di bangku SMP kini tercerai-berai. Matanya tidak bisa bohong saat perlahan likuid bening menutupi pandangannya.

"S-sang?" panggil Khaesang dengan gugup, namun tak ada balasan. Whisang masih diam menatap pialanya yang sudah pecah.

"Whisang?" panggilnya lagi.

Pada panggilan kedua ini, Whisang beralih menatapnya. Dan dapat dilihat dengan jelas oleh Khaesang jika mata saudaranya itu berkaca-kaca. Ada perasaan bersalah di hatinya setelah kejadian tadi.

"Lo ngga papa?"

Pertanyaan Whisang barusan membuat Khaesang diam seribu bahasa. Heran dengan sikap yang ditunjukkan Whisang saat ini. Mengapa malah menanyakan keadaannya.

"Sang, piala lo-

"Lo ngga papa?!" kali ini Whisang bertanya dengan penekanan serta sorot mata yang tajam walau terlihat berkaca-kaca.

Khaesang mengangguk ragu, kemudian menatap nanar piala Whisang. "Lo ngga marah?"

Tanpa mengabaikan pertanyaan Khaesang, Whisang langsung berjongkok guna membersihkan piala yang berceceran. Hal itu yang mana membuat suasana diantara mereka menjadi lebih dingin. Khaesang merasa tidak enak terjebak di situasi macam ini.

Maka dengan kesadaran penuh Khaesang hendak membantu Whisang yang tengah memungut pecahan piala. Namun tindakannya langsung ditepis kasar oleh saudaranya.

Whisang menatap tajam saudaranya itu, kemudian berucap pelan namun menusuk. "Jangan sentuh! Piala ini bahkan lebih berharga dari Lo!"

Karena kesabaran Khaesang tipis, dituang bensin satu tetes saja langsung terbakar hebat, maka setelah itu dirinya menarik kerah baju saudaranya. Membuat keduanya berdiri dan saling berpandangan.

Sebelum adanya baku hantam lebih lanjut, Jaya yang melihat adegan tersebut langsung berseru. "STOP!"

Jaya berjalan kearah kedua putranya, melepas cekalan tangan Khaesang pada kerah baju Whisang. Dia memberi tatapan tajam dan meminta penjelasan. Walau kedua anaknya masih memandang dengan tatapan benci.

"Berhenti bertengkar! Kalian ngga malu sama ibu kalian yang lihat dari atas? Sikap kalian mengecewakan perempuan yang ayah sayangi! Dan ayah ngga suka itu!" tegur Jaya yang kali ini serius, bahkan membuat kedua anaknya menegang di tempat.

"Kali ini ayah serius soal menghukum kalian berdua!"

****

Terimakasih untuk support kalian dengan vote dan komen.

Dukungan kalian sangat berharga untuk saya:)

Kembar Nakal[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang