W. Siapa yang kalah?

333 54 4
                                    

Jaya di buat uring-uringan setelah mendapat kabar jika kedua anaknya ikut tawuran. Terlebih lagi mendengar kalau mereka mendapatkan luka yang cukup serius. Kini Sang kembar telah dilarikan ke rumah sakit terdekat.

Dengan di kendarai Satya, mobil yang ditumpangi Jaya pergi meluncur menuju rumah sakit tempat kedua anaknya di rawat. Perasaan gusar dan khawatir menjadi satu dalam hati Jaya. Satya yang sadar akan hal itu cukup paham dan memberi saran untuk tenang.

"Mereka masih hidup kok, Pak. Tangan sama kaki ngga misah dari badan, tenang aja." Satya memberikan kata penenang walau hal tersebut sepertinya sia-sia. Karena Jaya masih tampak cemas.

"Ngga tenang saya Sat. Mereka itu satu-satunya keturunan saya, kalo kenapa-kenapa repot. Ngga bisa buat lagi,"

Satya mengernyit, hendak berucap kembali. Namun menyadari mobil mereka telah sampai, Jaya langsung buru-buru keluar dan berlari masuk kedalam rumah sakit.

Menelusuri lorong rumah sakit dan pergi menuju ruang gawat darurat tepat kedua anaknya berada. Hingga membuka gorden satu demi satu guna mencari sang kembar.

Srek

Kaki Jaya langsung lemas dan jantungnya yang berdegup dengan kencang. Melihat kondisi kedua anaknya yang memang tidak di katakan baik-baik saja.

Ada gips terpasang pada lengan Khaesang, dan juga kaki Whisang. Kedua anaknya itu tampak kesakitan begitupun dengan beberapa luka tonjok pada wajah keduanya.

Jaya menghela napas sejenak, kemudian menghampiri ranjang mereka. Menatap penuh penjelasan bagaimana kronologi yang menyebabkan keduanya sampai ikut tawuran. Dan dengan terpaksa Whisang membeberkan alasannya.

"Astaga cari mati!" Jaya mengusap wajahnya kasar.

"Eh, bukan cari mati Ayah! Ini namanya hidup seperti lary!" kilah Khaesang meminta pembenaran.

Telinganya seketika langsung di jewer pelan oleh sang ayah. Jaya gemas sendiri dengan pikiran salah satu anak kembarnya ini. Entah dimana lah otak Khaesang yang mencari keasikan dengan ikut tawuran. Dan malah membawa serta Whisang.

"Diem lah kalian di rumah sakit ini. Mampus, ngga bisa ngapa-ngapain!" kesal Jaya.

Memang benar, Sang kembar harus menjalani rawat inap. Guna memastikan tidak ada luka lainnya, dan memeriksa rutin retak tulang yang di alami keduanya.

Whisang mendapatkan retak tulang pada pergelangan kaki sebab di injak oleh orang yang menjadi lawannya saat tawuran itu. Sementara Khaesang mendapatkan retak pada lengannya karena melindungi saudaranya.

Keduanya di tempatkan pada kamar yang berada di ruangan VIP. Sama seperti Jaya dahulu yang mengalami kecelakaan. Ruangan yang lumayan besar dan mewah untuk bermalas-malasan walau sedang sakit.

Kini Sang kembar tengah menatap nampan sarapan yang berada di depan mata. Lebih tepatnya Khaesang yang tengah kebingungan bagaimana caranya untuk makan. Sebab tangan kanannya yang sedang sakit saat ini.

Whisang memperhatikan saudaranya yang belum makan dari ranjang sebrang. Belum menyadari bahwa kini Khaesang sedang bingung bagaimana cara makan. Karena sebelum ini ada Jaya atau Satya yang menyuapinya kala waktu makan tiba.

Kini kedua orang dewasa itu tengah pergi.

Membuat Khaesang dengan terpaksa menatap melas pada sang kembaran. Whisang yang di tatap seperti itu hanya bertanya-tanya ada gerangan apa.

"Makan, Khaesang! Bukannya liatin Gue mulu,"

Khaesang memajukan bibirnya seperti anak kecil, kesal dengan ketidak pekaan saudaranya. Dia kemudian berdiri dan berjalan menuju ranjang Whisang.

"Suapin!" rengeknya.

Whisang menatap tidak percaya dengan pemandangan Khaesang yang merengek padanya. Ini adalah hal yang langka, sampai membuat Whisang merasa seperti mimpi.

Khaesang merengek seperti balita.

"Pfft! Anjir muka Lo kaya bocil minta makan!" tawa Whisang mengudara membuat suasana hening di ruangan itu diisi oleh tawa ngakaknya.

Khaesang kesal dengan respon saudaranya, maka dengan sengaja dirinya menepuk keras kaki Whisang yang tengah di gips.

Plak

"ANJING SAKIT!"

"Astaga Whisang mulut Lo sopan sekali. Gue aduin ke Ayah, nih!" ancam Khaesang dengan serius.

Whisang menatap tajam kembarannya. Setelah dengan tidak beradabnya Khaesang menepuk kakinya yang sedang sakit ini. Tenang, tangan Whisang masih sehat untuk membalas.

"Lo minta gue cekek! Dua tangan Gue cukup sehat nih!"

"Gue minta di suapin Whisang! Di suapin! Bukan di cekek! Susah emang ngomong sama anak berkebutuhan khusus!" ejek Khaesang.

Whisang menatap kesal pada Khaesang, ingin membalas namun tindakannya berkata lain. Dengan perlahan dirinya menyendok satu suapan penuh dan mengarahkannya pada mulut saudaranya.

"Aaaa!" suruh Whisang.

Dengan menurut Khaesang membuka lebar mulutnya. Menerima suapan Whisang dengan tenang dan mengunyahnya. Pemandangan langka bagi keduanya yang terkenal saling baku hantam dan kini malah saling suap menyuap.

"Habis ini bantuin Gue ke WC titik!" ujar Whisang tiba-tiba.

"Anjir, ngapain?"

Whisang mendelik tidak suka, "Gue kebelet pup btw. Lo kudu bantuin gue ngga mau tau!"

Khaesang menatap tidak percaya kembarannya itu, "demi apa Gue kudu tegur sapa sama tai Lo?!"

"Karena Gue udah jadi tangan Lo, gantian Lo jadi kaki gue!" putus Whisang dengan telak.

Perintah Whisang barusan memang benar. Setelah mereka selesai makan bersama, Whisang langsung menyuruh Khaesang membantunya menuju kamar mandi guna menuntaskan buang air besar yang sudah dirinya tahan sedari tadi.

Dengan sangat amat terpaksa Khaesang meng-iyakan. Walau sambil bersumpah serapah dan menutup hidungnya agar bau dari pup saudaranya itu tidak meracuni pernapasannya.

"Eh, Sang! Sorry, Lo kecipratan dikit ampasnya!" seru Whisang sambil tertawa lebar.

"WHISANG BABI! GUE PATAHIN KAKI LO YANG SATU LAGI SINI!"

*****

Cerita gabut ku ini ternyata banyak yang baca. Terimakasih buat kalian semua yang suka sama story dua anak kembar pak Jay ini.
Untuk kalian yang membaca dari bab awal sampai sini, adakah masukkan yang dapat memperbaiki cerita ini lebih baik lagi?
Kritik dan saran dengan bahasa bayi di persilahkan:)

Bye

Kembar Nakal[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang