U. Bendera perdamaian?

340 50 4
                                    

Walau dengan paksaan yang sangat memaksa kedua kembar itu pada akhirnya ikut pulang juga. Satya memberi alasan bahwa Jaya masih butuh rawat jalan. Dan tugas mereka berdua sebagai anak kandung untuk mengurus sang ayah.

Sedikit diiming-iming blackcard unlimited barulah mereka berdua mau untuk pulang dan mengurus orang tua yang habis kecelakaan kemarin.

"Harusnya tuh garem dulu tolol?"

"Kok nyolot? Gue udah pro! Ngga diajarin juga udah masuk otak!"

"Otak Lo mana ada isinya, Gue aja yang masak!"

"Ngremehin otak juara kelas. Padahal otak sendiri isi tawuran doang,"

"Diem atau pisau dapur nancep di kepala Lo?"

Whisang mencebik kesal, menatap Khaesang yang mengambil alih masakan mereka berdua. Mereka menguasai dapur pagi ini dengan alasan membuat bubur untuk sang ayah.

Sebenarnya itu ide Satya. Untuk menyenangkan bos nya.

Walau dengan malas, nyatanya kedua Sang kembar tersebut malah berlomba-lomba membuat bubur untuk Jaya. Entahlah bagaimana rasanya, yang terpenting masakannya sudah rupa bubur.

"Ini atasnya kasih bawang goreng,"

"Kasih seledri anjir! Biar ada ijo-ijonya!"

"Ya udah sana ambil!"

"Kok nyuruh!"

"Kok nyolot!"

Satya mendekat saat dirasa kedua majikan kecilnya itu selesai membuat sebuah hidangan. Sebelum semangkuk bubur itu menjadi alat tempur keduanya, si sekretaris langsung mengambil alih.

"Saya akan antarkan masakan ini pada bos, terimakasih sudah bersusah payah membuatnya," ujar Satya dengan senyum tipis.

Whisang menatap Satya dengan senyum lebar sebagai balasan. "jangan lupa janjinya, Om!"

"Masing-masing satu,oke!" Khaesang ikut menimpali.

Satya mengangguk, walau itu hanya ide nya belaka dan belum meminta ijin kepada sang bos. Entah bagaimana nanti reaksi Jaya, apakah senang kedua anaknya membuat masakan untuknya? Atau sedih karena harus memberikan imbalan berupa blackcard unlimited.

Selama menunggu ayah mereka sarapan dari hasil masakan keduanya, Whisang dan Khaesang kabur menuju ruang tamu. Meninggalkan dapur yang sudah berantakan seperti kapal pecah.

Kalau Jaya tau bahwa tempat kekuasaannya hancur lebur seperti ini, sepertinya akan ada hukuman part 2.

"Mati ngga menurut Lo?" tanya Khaesang iseng.

Whisang menaikan alisnya, kemudian mengangkat bahu tak tahu. "Semakin cepat, semakin dekat warisan."

Dan ucapan Whisang tersebut di angguki oleh Khaesang. Memang anak durhaka mereka ini.

Interaksi keduanya terputus saat Satya datang dan menyuruh kedua anak itu untuk masuk ke dalam kamar ayah mereka. Dan hal itu membuat Whisang dan Khaesang mendesah kesal.

"Belum mati,"

"Kita coba lain kali,"

Sang sekretaris yang mendengar percakapan kedua anak kembar tersebut hanya menggeleng tak menyangka dan mengelus dada. "memang biadab,"

Memasuki kamar termewah di mansion mereka, yaitu kamar sang kepala keluarga. Jaya terbaring di atas ranjang besar yang empuk dan nyaman. Berbanding terbalik dengan wajahnya yang masam dan tertekuk menatap kedua anaknya.

Khaesang dan Whisang saling mendorong untuk maju dan mendekat pada ayah mereka. Dirasa bahwa perbuatan mereka berdua sudah ketahuan dan akan mendapatkan sanksi setelah ini. Bukan hadiah yang di harapkan.

Kembar Nakal[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang