A. Pisah rumah

1.1K 148 7
                                    

Pagi itu cerah tetapi kelam pada saat bersamaan. Langit sepertinya tidak berpihak pada si kembar yang saat ini tengah berkemas-kemas untuk pergi dari rumah. Perkataan keduanya waktu itu serius, saat keduanya membuat keputusan untuk memilih jalan masing-masing.

Jaya sudah menduga bahwa cepat atau lambat pasti kedua anaknya akan berpisah seperti ini. Setelah sekian lama hidup dengan perang dingin di satu atap. Kini mereka sudah resmi mengibarkan bendera perang panas.

Kini dua orang yang sudah dia urus sejak bayi berdiri menghadapnya. Dengan membawa dua buah koper yang menyimpan pakaian mereka. Dengan menghela napas kasar, Jaya mengalah walau setengah hati.

"Oke, Ayah ijinkan kalian untuk pergi dari rumah. Tapi kapan pun kalian rindu rumah, kalian berdua bisa pulang kapan aja," ujar Jaya dengan senyum paksa.

"Kami nggak rindu rumah,"

"Lagian di rumah nggak ada yang bisa buat rindu juga,"

Ayah mereka melongo mendengar jawaban yang diberikan. "Kalian masih punya Ayah, loh! Ayah masih hidup, woy!" seru Jaya tidak habis pikir dengan ucapan kedua putranya.

"Oh ya, lupa,"

"Hm, kapan-kapan kalo nggak lupa masih punya Ayah,"

Astaga, Jayabrata harus benar-benar sabar agar tidak meluapkan emosi dengan ketidak beradapnya kedua anaknya itu. Pria seumurannya memang harus banyak sabar supaya tidak cepat tua.

"Oke. Baik-baik hidup diluar sana. Hidup jauh dari keluarga nggak seenak yang kalian pikir," petuah Jaya.

Whisang mengangguk kecil, melirik sejenak kembarannya lalu terkekeh. "Whisang sih hidupnya bakal teratur soalnya hidup di asrama. Nggak tau kalo anak Ayah yang satu lagi, bakal jadi berandal kali,"

Khaesang yang mendengar perkataan saudaranya langsung naik pitam. "Minta gue gibeng ya, Lo!?"

"Tuh kan, kelakuan macam preman dia udah keliatan!" Pacing Whisang kembali, yang mana membuat Khaesang yang kesabarannya setipis tisu bersiap menghajarnya.

"Eit! Udah-udah! Astaga masih ada di depan Ayah udah mau main baku hantam. Gimana kalo di belakang Ayah nanti?" cegah Jaya agar tidak terjadi perkelahian antar saudara.

"Ya paling nanti anak Ayah hilang satu," ucap Whisang.

"Iya, itu Lo!"

Haduh, gini amat punya anak.

***

Whisang menggeret kopernya mengikuti seorang kepala asrama yang akan menunjukkan kamarnya. Asrama berlantai empat ini akan menjadi tempat tinggal sampai sekolah menengah atasnya selesai.

Yang lebih baiknya lagi, dirinya tidak akan satu atap bersama saudara kembarnya itu. Whisang bersumpah bahwa dirinya tidak akan bertemu dengan Khaesang sampai dia selesai sekolah.

"Ini kamar kamu, karena kamu terlambat masuk, roommate kamu udah terlebih dahulu mengisi kamar. Semoga kamu betah dan taati peraturan asrama, ya?" ujar kepala asrama, pria paruh baya yang diketahui bernama Pak Nadis.

"Baik, Pak"

Begitu pintu terbuka, terpampang lah kamar yang beberapa waktu ke depan menjadi tempat tinggalnya. Whisang melirik ke segala sudut ruangan, dan menatap satu persatu penghuni kamar yang akan menjadi temannya.

"Anak-anak, kalian nambah teman sekamar lagi. Semoga akur, ya? Kalau begitu Bapak permisi," pak Nadis keluar dari kamar, meninggalkan si anak baru di kamar barunya.

Kembar Nakal[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang