T. Antara ayah dan aspal jalan

320 50 6
                                    

Pada pagi hari sekali Satya yang merupakan sekretaris merangkap asisten pribadi Jaya sudah berada di kantor. Dirinya tepat pukul tujuh langsung mescan kartu identitas pada alat absensi. Menjadikannya karyawan teladan di perusahaan Jayabrata.

Pesona bujang lapuk yang masih tampan dan berkarisma itu tidak bisa dikalahkan. Banyak karyawan yang lebih mengidolakannya ketimbang sang bos besar. Namun mereka mundur secara perlahan saat mendengar desas-desus bahwa Satya tidak tertarik pada pernikahan.

Tau diri dan sadar diri, para karyawan hanya bisa menatap kagum dari kejauhan pada sang sekretaris kepercayaan bos besar tersebut.

"Pak Satya, ini dokumen yang harus bos besar tanda tangan. Perjanjian bersama dengan perusahaan tambang emas yang minggu lalu sudah di rapatkan. Mohon untuk segera minta ACC," salah satu kepala divisi menghampiri dengan sebuah dokumen.

Satya mengangguk paham, dan mengambil dokumen tersebut. Menyuruh sang kepala divisi untuk kembali pada ruang kerjanya. Kemudian Satya melanjutkan kegiatannya, mengurus meja kerja Jayabrata yang masih berantakan.

"Masih aja suka ngemil kuaci,"

Meja Jaya jauh dari kata bersih, title saja bos besar tapi mejanya tidak jauh dari seseorang yang habis nobar sepak bola. Berantakan dan banyak sampah berserakan. Dan itu sudah makanan sehari-hari Satya.

"Semoga saja hari ini tidak ada hal merepotkan dari si Bos," doa Satya setiap harinya. Bukan tanpa sebab Satya selalu berdoa seperti itu.

Karena setiap harinya Jayabrata pasti berbuat ulah. Entah itu pada dirinya, kedua anaknya atau karyawannya. Dan lagi-lagi Satya yang harus bertanggung jawab.

Ponselnya yang berada di saku bergetar tanda ada panggilan. Dengan perlahan dirinya mengambil ponsel miliknya setelah membuang sampah pada tempatnya. Tertera nama bos besar di layar ponsel.

Menghirup napas sebelum mendengar tingkah apa lagi yang bos besarnya itu bebankan padanya.

"Hallo Pak?"

"Satya, ke rumah sakit sekarang. Saya kecelakaan,"

Satya tersenyum getir mendengar sang bos besar mengalami sebuah tragedi. Sudah dirinya duga hal ini akan terjadi, saat Jaya meminta berangkat sendiri dari rumah menuju kantor. Menolak ajakannya untuk menjadi supir pribadi seperti hari biasa.

"Rumah sakit biasa, baik saya on the way,"

"Jangan lupa kabari si kembar,"

Baiklah, hidup Satya memang tidak bisa jauh dari ketiga anggota keluarga itu.

Tentu Sang kembar terkejut saat mendengar dari Satya kalau ayah mereka mengalami kecelakaan. Maka dari itu, dengan kekuatan kekuasaan yang dimiliki si kembar mereka dapat dispensasi untuk pulang lebih awal guna menjenguk sang ayah.

Khaesang tiba lebih dahulu sebab dirinya mengendarai motor menuju rumah sakit. Dibukanya ruang rawat sang ayah yang berada di deretan ruang khusus VIP. Melihat Jaya terbaring di ranjang pesakitan.

"Alhamdulillah anak Ayah Dateng cepat. Pasti khawatir ya?" tutur Jaya dengan wajah senang.

Khaesang mendelik tak suka, melipat tangan sambil memandang sang ayah. "Ngga parah banget tuh lukanya. Kirain udah mau sekarat makanya Khaesang cepat-cepat biar dapet warisan paling banyak."

Perkataan salah satu anaknya mampu membuat hati Jaya mencelos sakit. Namun dirinya maklumi karena sudah tau bagaimana perangai anaknya tersebut. Walau mulut pedas, tak menutup kemungkinan ada rasa khawatir yang ditutupi pada wajah Khaesang.

Setidaknya itulah yang dirinya tangkap pada diri anaknya.

Pintu ruang rawat kembali terbuka, kini hadir Whisang beserta Satya mendekat pada ranjang pesakitan Jaya. Lain Khaesang lain lagi Whisang yang setidaknya masih memiliki kata-kata manis untuk diucapkan.

"Ayah ngga papa? Kok bisa kecelakaan? Gegayaan sih pergi sendiri! Udah tau jalan perempatan deket kantor itu rame kalo pagi. Mampus kan kena musibah, untuk belum sampai RIP."

Jaya kembali tersenyum getir lagi. Walau Whisang cerewet dan memarahinya. Tapi dia tau ada rasa khawatir yang dibawa anaknya itu. Cuman yang di ungkapkan dengan cara banyak omong seperti barusan.

"Ish, ini Ayah kecelakaan karena ada emak-emak sen kiri belok kanan." jelas Jayabrata memberi tahu kronologi kecelakaannya.

Setelah mendengar penjelasan dari Jaya barusan, Sang kembar memilih merebahkan diri pada sofa yang sudah di sediakan di dalam. Mengabaikan Satya yang saat ini membujuk Jaya untuk makan. Namun terus ditolak karena giginya seperti ada yang goyang sebab kecelakaan.

"Gue mau ngomong sama Lo," satu kalimat pembuka obrolan dari Khaesang untuk saudaranya.

"Gue juga mau minta penjelasan dari Lo," satu kalimat jawaban dari Whisang untuk saudaranya juga.

Mereka saling pandang satu sama lain, seakan mengirim telepati melalui tatapan mata. Entah ada perasaan apa antar keduanya yang membuat atmosfer ruangan menjadi dingin.

"Lo mata-matain Gue?" tebak Khaesang.

Whisang tersenyum miring, menatap tidak percaya kembarannya,"nggak salah dengar? Bukannya Lo yang kirim mata-mata buat Gue?"

Khaesang melebarkan matanya sesaat, terkejut karena rahasianya kali ini terbongkar. Namun tidak jadi merasa takut sebab yang dirinya lakukan juga dilakukan oleh sang saudara.

"Lo juga sama. Memanfaatkan cewek polos nyerempet bodoh buat jadi kaki tangan Lo dan ngrecokin hidup Gue?" tebak Khaesang.

"Jadi Lo udah sadar soal Angbeen?" jujur Whisang setelah kembarannya ternyata sudah tau mata-mata yang dirinya kirim.

"Lebih tepatnya dapet infomasi karena kecerobohan sih" jelas Khaesang mengingat bahwa Angbeen dengan tidak sengaja membuka identitas dirinya.

Whisang melirik kembarannya, masih ada rasa tidak menyangka bahwa perbuatannya ketahuan. Namun tidak disangka juga bahwa Khaesang juga melakukan hal yang sama padanya.

"Naksa Arjuna right? Temen Lo yang dikirim buat ngerusuh di hidup damai Gue," tebaknya.

Khaesang tersenyum asimetris, kemudian melirik Whisang,"setidaknya gue ngirim seseorang yang pintar, dan bikin hidup Lo ngga tenang di sekolah,"

Setelah konservasi keduanya terhenti, tangan Whisang yang sudah gemas ingin mencekik saudaranya pun langsung terealisasi. Begitupun dengan Khaesang yang langsung membalas setelah mendapat serangan mendadak dari kembarannya.

"Anjing Lo!"

"Ngaca njing!"

"Mati ngga!"

"Lo duluan yang mati!"

"Ngga ngotak!"

"Bangs*t!"

Keduanya saling mencekik leher satu sama lain. Dan hal itu di saksikan oleh sang ayah beserta sekertarisnya sambil memakan buah potong dari rumah sakit.

"Kira-kira yang mati dulu siapa?" tanya Jaya.

Satya menghela napas, mengelus dadanya sabar kemudian tersenyum palsu. "kalo mau bos dulu, sini saya bantu?"

***

Si kembar memang selalu ada banyak tingkah, mohon untuk di maklumi.
Kalian ada rasa kagum ngga si sama sekretaris Jaya satu itu, yang hidupnya di repotin ayah dan si anak kembar. Aku ngrasa kasian banget sama Satya, wkwkwkw

Berikan pelukan untuk Satya Sabiru si Sekretaris bujang yang penuh kesabaran 🫂🫂🫂

Bye

Kembar Nakal[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang