X. Hilangnya Whisang

426 67 13
                                    

Hidup si kembar sudah berjalan seperti sedia kala. Mereka kembali hidup berdampingan dalam satu atap di mansion. Tanpa berpisah satu sama lain. Dan itu membuat Jaya tersenyum lebar dengan perasaan bahagia tiada tara.

Keputusan yang bagus dirinya memberikan rekaman sang istri pada kedua anaknya itu. Jaya pikir kenapa tidak dari dahulu dirinya memperlihatkan rekaman itu pada Sang kembar. Tapi dirinya baru ingat, dia juga lupa bahwa memiliki rekaman tersebut.

Jadi ini semua memang salah Jaya yang terlambat pemirsa.

"Hati-hati ya, kalo udah sampai kabarin!"

Whisang yang tengah packing barang miliknya berhenti sejenak, menatap ayahnya malas. "Mana ada sinyal, Yah. Ini di hutan Lo! Bukan di taman kota!"

"Ya siapa tau kamu panjat pohon buat cari sinyal," ujar Jaya.

"Ogah banget,"

Whisang ada kegiatan mapala yang diadakan oleh sekolahnya. Memang tidak wajib bagi seluruh siswa. Kegiatan ini di lakukan oleh beberapa anggota yang tergabung dalam ekstrakurikuler mapala sekolahnya. Dan Whisang adalah anggota baru.

Rencananya kegiatan akan diadakan di hutan yang terletak pada pinggiran kota. Hutan lestari yang memang sudah sering jadi lokasi untuk berkemah. Sekolah Whisang memilih tempat tersebut dengan kesadaran penuh. Mengesampingkan cerita horor dari hutan yang beredar.

"Jangan lupa bawa jimat penangkal demit. Siapa tau temu sapa sama mbak Kun!" Jaya kembali memberi petuah.

Whisang menghela napas sabar, ayahnya ini memang banyak omong. Ingin menginterupsi tapi takut durhaka, maka dari itu Whisang hanya diam dan mengangguk sebagai tanda mengerti.

Khaesang yang kebetulan baru saja pulang dari sekolah, menatap kembarannya dengan lekat. Ada sedikit rasa tidak enak pada wajahnya melihat Whisang akan pergi.

"Pulang dengan utuh Lo! Kalo kagak warisan ayah buat Gue semua!" ujar Khaesang dengan sarkas.

Whisang menatap kembarannya yang baru saja datang tersebut. Dia membalas dengan senyum tipis, dan mendekat ke arah Khaesang. Tanpa aba-aba dirinya memeluk saudaranya itu, membuat yang di peluk menegang di tempat.

Keduanya berpelukan seakan mau berpisah saja. Dengan Whisang yang menepuk pelan punggung saudaranya. Dan Khaesang yang menikmati pelukan yang jarang mereka lakukan. Suasana tiba-tiba menjadi haru, membuat Jaya ingin menangis saja rasanya.

Namun perkataan Whisang merusak suasana seketika, "kalo Gue mati, Lo orang pertama yang Gue gentayangin buat minta sebagian warisan milik gue, oke?"

Tidak jadi terharu, rasanya Khaesang malah ingin menendang pantat saudara kembarnya ini. Rusak sudah suasana yang dibayangkan Jaya.

"Ah, love language mereka masih aja kekerasan,"

Setelah Whisang berpamitan dan minta doa sebanyak-banyaknya dari sang ayah dan Khaesang, pemuda itu pergi dengan bus yang akan mengantar rombongan para mapala.

Khaesang menatap kosong udara yang ditinggalkan Whisang. Entah ada apa dengan batinnya yang seakan berat untuk melepas saudaranya itu pergi. Ada perasaan tak nyaman yang menjalar di dalam dirinya.

Perasaan itu membuat perutnya mulas dan ingin buang air besar. "Ah, pikirin banget! Gue cuma kebelet pup aja ini. Ngga usah mikir macem-macem!" Setelah itu Khaesang pergi menuju kamar mandi guna menuntaskan hajatnya.

Sambil merapalkan doa agar Whisang selamat sampai pulang nanti.

Namun doa itu sepertinya tidak terkabul setelah dua puluh empat jam berlalu. Jaya mendapatkan kabar kalau salah satu anak kembarnya yang sedang mengikuti mapala itu dinyatakan hilang.

Dengan perasaan tak karuan, Jaya segera pergi membawa serta Khaesang yang pagi itu baru saja bangun tidur. Mereka pergi menuju TKP tempat kegiatan mapala dilakukan. Ada Satya yang tentu saja menjadi supir dadakan bos nya.

Khaesang menatap gusar ayahnya, dia tidak tau apa yang terjadi. Tiba-tiba sang ayah menariknya untuk ikut, disaat dirinya baru saja membuka mata pagi ini. Bahkan masih ada jejak iler pada wajahnya.

Saat melihat tempat yang mereka kunjungi pagi buta itu, seketika Khaesang langsung menyadari sesuatu. Hatinya tiba-tiba terasa gusar dan tak tenang. Terlebih melihat wajah ayahnya yang frustasi itu.

Ketiga manusia yang panik ini keluar dari dalam mobil, mereka masih menggunakan piayama. Langkah mereka bawa pada kerumunan orang yang berkumpul pada pos penjagaan. Jaya langsung manarik salah seorang penjaga.

"Pak, Whisang Pratama! Anak saya bagaimana? Kenapa bisa tidak ada kontak dengannya?!" seru Jaya tidak sabar.

Seorang pria berumur yang menjadi penanggung jawab kegiatan tersebut meminta Jaya untuk tenang. "Tenang Pak. Kita sedang mengusahakan mencari titik terakhir tempat keberadaan anak Bapak,"

"Gimana saya bisa tenang! Itu anak saya Pak! Dia ilang di hutan, bukan di mall! Tidak ada meja resepsionis di hutan sanah! Gimana anak saya bisa ketemu!" cerca Jaya dengan banyak pertanyaan.

Ayah dua anak itu kalut saking takutnya dengan keadaan Whisang yang saat ini dinyatakan menghilang. Jaya cemas luar biasa sampai tidak bisa mengontrol emosinya.

Pak Abdi, selaku yang bertanggung jawab masih terus berusaha menenangkan wali dari siswanya yang hilang ini. Dengan memberikan penjelasan agar tidak perlu khawatir. Sebab tim SAR sudah dikerahkan beberapa saat lalu untuk mencari keberadaan Whisang.

Khaesang yang mengerti dengan suasana saat ini, menatap kosong pada hutan belantara di depannya. Tiba-tiba hatinya terasa sakit seperti di hantam balok kayu berton-ton. Ada perasaan getir yang tak nyaman dalam dirinya.

Di tepuknya dada kirinya guna menghilangkan perasaan cemas itu. Namun Khaesang kalah, dia terjatuh sambil menatap nanar hutan yang menjadi pelaku menghilangnya sang saudara. Kelopak matanya seketika basah oleh air mata yang tanpa permisi jatuh begitu saja.

Satya yang mengerti dengan kondisi Khaesang saat ini, langsung membawa anak itu dalam rengkuhannya. Mengelus pelan punggung Khaesang guna menenangkan jiwa anak itu yang terguncang.

"Arghhhh! Ommm!" tangis Khaesang seketika pecah.

"Om Satya! Whisang dimana!? Dia kenapa ngga keliatan?!" rancau Khaesang sambil meremat dadanya yang terasa sakit.

"Whisang suruh balik Om Satya! Dia ngga boleh ilang, tanpa ijin Gue!"

Satya masih berusaha menenangkan Khaesang yang sudah kalut dengan derai mata yang terus mengalir. Dan Jaya yang masih terus meminta penjelasan pada orang-orang yang bertanggung jawab atas hilangnya putranya itu.

Menatap nanar pada pepohonan yang menjulang tinggi serta kegelapan hutan, Khaesang berucap lirih membuat Satya yang mendengar itu menjadi ikut teriris perasaannya.

"Pulang Whisang, Gua ngga bisa lanjut hidup kalo Lo pergi,"

*****

Busettt udah mau end tiba-tiba ada aja peristiwa, wkwkwk
Happy apa sad end nih?
Btw cerita ini termasuk ringan ngga sih, ngga yang berat banget ya kan?

Selesai sama cerita ini, aku bakal publish new story kok ngehe:)
MC nya tentu saja my baby Sunoo ♡

Bye

Kembar Nakal[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang