"Aku pengen sekamar sama anak om!" Teriak Darentra di tengah-tengah mereka sedang makan dengan tenang. Bahkan Celvo dan Laras yang bermesraan saling menyuapi saja tersedak karena perkataan anaknya yang sangat tiba-tiba itu.
Pagi itu mereka makan bersama seperti dahulu. Kali ini juga suasana lebih cerah dan tidak ada lagi keheningan di antara mereka. Karena memang Darentra makan sambil menonton. Bahkan sampai teriak-teriak tidak jelas.
Juga makanannya kali ini adalah ayam kesukaannya. Entah kesurupan apa, kali ini seorang Celvo bermurah hati untuk menjadikan menu hari ini ayam. Sambal juga ada, tetapi hanya boleh mengambil sedikit.
Untung saja berkat Darentra, Albi juga dapat menikmati makanan ini karena sudah sembuh. Tetapi hanya ia sendiri yang makan sambil memandangi laptop yang memunculkan banyak kata di layarnya. Biasa, ini tentang pekerjaan.
Celvo, Laras, dan Albi segera minum segelas air putih karena tersedak gegara perkataan Darentra. Apalagi Darentra yang mengatakannya hanya terkekeh pelan karena ulahnya membuat mereka tersedak.
Laras menatap anaknya heran, "Kali ini setan apa lagi masuk?" Tanya Laras.
"Kayanya mbak kunti ma," Jawabnya ikut bercanda.
"Kenapa tiba-tiba pengen sekamar sama kakakmu?" Tanya Celvo jadi ikut memandangi Darentra aneh. Bisa darurat jika memang anaknya yang satu ini kesurupan.
"Kamar idaman, ngga boleh berarti kita musuhan lagi!" Ucap Darentra sedikit meninggikan nadanya dan memasang wajah marah.
"Belom juga dijawab dek," Ucap Laras langsung saling bertatapan dengan Celvo.
"Coba bilang, yang ada di depan ini makhluk apa?" Tanya Celvo.
"Temen setan om."
"Rumah?"
"Neraka jahanam"
"Alasan merasuki anak saya?"
"Karena dia tampan, pemberani, anti sad, ga alay, baik hati dan tidak sombong, cerdas." Pujinya pada diri sendiri.
"Bener mas, anak aku ini. Otaknya diluar nurul!" Ucap Laras yang malah mendapat serangan tatapan tajam dari Darentra.
"Mama! Kok jadi ngelawak?? Gimana? Boleh kan?" Darentra menatap sedikit kesal dengan mereka semua yang sedikit bertele-tele. Ingin sekali ia nyanyikan lagu muak.
Celvo menatap ke arah Albi yang masih sibuk dengan tugasnya sendiri di perusahaan. Tentunya di bawah pimpinan bapaknya sendiri. "How?" Tanya Celvo.
"Up to you," Jawabnya singkat hanya melirik kan bola matanya tanpa menolehkan kepalanya atau apapun itu.
"Dengan satu syarat," Kata-kata yang keluar dari mulut Celvo berhasil membuat Darentra segera mengurungkan niat senyumnya.
"Apa?" Tanyanya.
"Call me--"
"Papa? Daddy? Papi?" Tanya Darentra dengan polosnya.
"Up to you." Jawabnya singkat.
"Kakak manggil Daddy brarti gue papah aja. Biar beda. Dan gaboleh niru!" Ucap Darentra seakan-akan menyindir seseorang.
"Salam sehat," Ucap Laras melongo karena penjelasan anaknya yang sedikit di luar nurul. Masuk akal tapi tidak masuk akal?
"Bagaimana boy?" Tanya Celvo menatap anak tertuanya yang sedang fokus kepada laptopnya. Jika orang memandang mereka, sepertinya dari pandangan itu yang terlihat adalah seorang remaja yang sangat bekerja keras.
Albi yang dari tadi fokus kepada laptopnya pun segera mengalihkan pandangan dan menatap mereka, "Terserah." Ucapnya singkat lalu menatap laptopnya kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARENTRA Jiwa yang Terluka [End]
RastgeleAwal nya hidup seorang pemuda yang masih belum bisa berfikiran lebih dewasa itu baik-baik saja dan dapat dijalani dengan tenang. Hidup bebas tanpa ada kekangan dari mamanya dan memiliki mama yang begitu sabar sudah cukup bagus baginya. Meskipun tida...