Pict by pint!
Beberapa minggu berlalu, masih tidak ada seseorang yang dapat menemukan Darentra yang sudah tidak bisa melakukan apa-apa di sini.
Hanya karena pada saat wajah Darentra hampir di rusak, dan memberikan perlindungan kepada dirinya sendiri dengan cara menendang benda tersebut, perempuan itu sangat marah.
Kakinya menjadi korban dari benda itu sendiri. Senjata makan tuan. Sebenarnya ia tidak bermaksud untuk menjatuhkannya seperti itu. Hanya saja ia reflek.
Namun karena hal itu, Darentra disiksa terus menerus dan tidak dibiarkan mati begitu mudah oleh mereka semua.
"Hmphh!!--" Nafasnya terhenti ketika perempuan itu tiba-tiba saja datang dengan emosinya itu lalu mencekiknya dengan sangat kuat.
"Bocah sialan! Hanya karena dirimu saja mereka menampakkan ku. Bahkan sekarang dengan berani mencurigaiku!" Ucap perempuan itu lalu melepaskan leher Darentra.
Darentra tersenyum dengan bangga, "Tikus seperti tante memang pantas dicurigai. Bahkan pantas diasingkan sendiri oleh saudaranya karena terlalu bajingan," Ucap Darentra dengan sangat berani.
"Mendengar ucapan mu yang sangat sombong itu, hari ini tidak ada makanan untukmu," Perempuan itu tersenyum licik membalas senyuman Darentra tadi.
"Bagus sekali ide tante. Dengan begini aku tidak akan memakan uang hasil membunuh saudara sendiri!" Kata-katanya ditekan seperti ada dendam yang sangat besar.
Jleb.
Satu tusukan pisau berhasil kembali tertancap di perut kurus tak terisi Darentra. Dirinya langsung terjatuh ke lantai berjongkok sambil memegangi perutnya yang telah mengeluarkan banyak darah.
Perempuan itu dengan tega langsung mencabut pisau tersebut dan hanya menatap Darentra begitu saja. Tidak ada bantuan sama sekali.
"Sebegitu bencinya kau denganku?" Tanya Darentra dengan menatap mata perempuan itu.
"Salahkan warisan yang hanya diberikan kepadamu. Tetapi jika kau mati, aku bisa mendapatkannya." Ucap perempuan itu dengan jujur.
"Apa kau benar-benar tidak menyukaiku sama sekali?" Tanyanya lagi.
"Aku sangat membencimu. Camkan itu!" Tegas perempuan itu.
"Baik, maafkan aku." Ucap Darentra lalu dengan cepat mengambil pisau yang ada di tangan perempuan itu.
Jleb.
Pisau tertancap sempurna di perutnya dan Darentra membungkam mulut itu dengan cepat. Bahkan berbicara sedikit saja tidak bisa.
Tancapan yang diberikan oleh Darentra sangatlah kuat hingga menembus ke belakang. Matanya bagaikan pembunuh yang sudah kehilangan akal sesaat.
Pada saat ingin mencoba untuk membuka pintu, telinganya tiba-tiba berdengung. Ia melepaskan pisau itu begitu saja lalu memegang kedua kepalanya sambil menahan sakit di perutnya yang semakin luar biasa begitu juga dengan kepalanya.
Dor. Dor. Dor.
Suara tembakan begitu keras di luar sana. Ia tidak tau apa yang sedang terjadi. Tetapi kegelapan sudah lebih dahulu mendatanginya.
*****
Kejadian yang sangat menakjubkan telah terjadi. Pertumpahan darah tidak bisa terhindar. Kini Darentra telah berbaring di ranjang selama beberapa waktu.Luka yang didapatkan olehnya bukan lumayan lagi, tetapi sangat banyak jumlahnya. Bahkan ia sampai berani membunuh seseorang seperti itu.
Matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya matahari yang menembus kaca jendela ruangan tersebut. Bisa dilihat jika itu adalah ruang kamar Albi.
"Masih sakit?" Tanya Albi membantu Darentra bangun dan bersandar.
Darentra hanya menggeleng saja namun ia yang paling mengerti jika tubuhnya seperti patah tulang. Sakit di mana-mana.
"Maaf." Ucap Darentra tiba-tiba sambil menatap ke arah lain dan tidak berani menatap mata Albi.
"For?" Tanya Albi bingung.
"I kill your mom." Jawabnya sedikit takut.
"Do not blame yourself. Nanda sudah memberi tahu semua yang terjadi kepada kalian. Waktu itu juga memang salahku yang terlambat datang ke tempat itu. Dad juga sudah berpisah dengannya." Ucap Albi duduk di sebelah Darentra.
"Don't cry, ingin mengunjungi makam bunda?" Albi menghapus air mata Darentra yang sudah turun bagaikan air mancur.
Dia hanya terisak begitu saja tanpa mengeluarkan suara yang keras. Hanya menahan tangisan nya. Bagaimana juga ia sudah besar.
Darentra mengusap kasar air matanya, "Selama ini kalian telah dimanfaatkan oleh Saras kembaran mama, kau tidak marah?" Tanya Darentra.
"Tidak akan."
"Kenapa tiba-tiba menggunakan bahasa formal?" Tanya Albi yang sudah sering mendengar Darentra berbicara menggunakan bahasa kurang sopan nya itu.
"Tobat sapa tau dijemput malaikat." Ucapnya terkekeh kecil dan berakhir mereka tertawa bersama.
Albi sendiri sebelumnya tidak pernah tertawa seperti ini. Hanya ada pekerjaan di mata Albi dan Celvo. Bahkan saat ini Celvo masih sibuk bekerja. Tetapi tidak bisa disalahkan juga karena Celvo sedang mengurus masalah ini agar cepat selesai sampai ke akarnya.
Darentra [END]
Mereka bertiga akhirnya hidup bahagia dengan Darentra yang terus melanjutkan sekolah nya yang tertinggal jauh. Sedangkan Albi yang sudah lulus melanjutkan kuliahnya sambil bekerja. Sedangkan Celvo sekarang sangat jarang bekerja dan mencoba untuk meluangkan waktunya bersama anak-anaknya.
Tetapi Darentra masih sama seperti sebelumnya, ia sering kali mengikuti balap liar dengan temannya. Namun Celvo tidak pernah mempermasalahkan. Hanya saja Darentra harus mengabari selalu agar tidak terjadi apa-apa.
Belajar dari pengalamannya, Celvo tidak ingin membuat Darentra terkekang dan berakhir kabur dari mansion. Juga tidak ingin membuatnya berpikiran jika Celvo tidak pernah sayang kepada dirinya.
Prestasi Darentra semakin banyak seiring berjalannya waktu. Sedangkan Albi mulai mencoba membuat suatu produk untuk dipasarkan.
Setiap hari libur mereka habiskan waktu bersama-sama untuk berjalan-jalan. Terkadang teman Darentra juga ikut meramaikan. Apalagi sekarang Nanda menjadi teman dekat Albi.
End-
Mohon maaf bila ceritanya tidak jelas atau tidak nyambung. Dan maaf bila ada typo atau apapun itu karena keyboard yang kurang ajar.
Jangan lupa vote dan komen ya! Sedikit menghargai penulis.
Sekedar info. Akan ada cerita baru tentang brothership juga. Jadi jika ingin membacanya pantengin terus ya. Follow agar tau.
KAMU SEDANG MEMBACA
DARENTRA Jiwa yang Terluka [End]
AcakAwal nya hidup seorang pemuda yang masih belum bisa berfikiran lebih dewasa itu baik-baik saja dan dapat dijalani dengan tenang. Hidup bebas tanpa ada kekangan dari mamanya dan memiliki mama yang begitu sabar sudah cukup bagus baginya. Meskipun tida...