Johan baru saja pulang. Ia berjalan lewat pintu samping, agar lebih cepat untuk menuju kamarnya. Baru beberapa langkah memasuki rumah, cowok itu dikejutkan oleh beberapa kaleng cat dinding di lantai, juga beberapa peralatan mengecat yang sepertinya sudah di siapkan.
Di sudut sana tampak seorang pria sedang memberi komando pekerjanya yang tengah berjinjit mengecat dinding dengan meja kayu sebagai pijakkan. Johan celingukan, terlihat dinding sekelilingnya sudah berganti warna. Cowok itu mendekati sang papa yang menyadari keberadaannya.
"Pulang juga kamu, Han?"
Johan hanya mengangguk, lalu menyalami pria bernama Haris itu.
"Nganter yang punya motor kemarin ke bengkel dulu," jawab Johan menjelaskan kenapa dia pulang telat. "Habis dua ratus lima puluh, mana ngutang lagi. Kasihan." Cowok itu menggelengkan kepala, sambil berdecak.
"Kamu ngutang sama bengkel?"
"Bukan pa. Johan yang bayarin dulu, entar dia balikin duitnya."
"Ikhlasin kenapa sih?"
Johan melebarkan mata, tak terima. "Enak aja, dua ratus lima puluh loh, pa!"
Haris tidak menggubris. Pria itu menyuruh si pekerja untuk turun dan istirahat. "Beresin nanti aja, To. Nanti kepakai lagi."
"Oh, iya pak," jawab Anto si pekerja, lalu pamit pergi.
Johan memperhatikan sekeliling. "Tumben cat rumah, pa? Lebaran kan masih lama."
"Emang lebaran aja, cat rumah?"
Johan mengernyitkan heran. Seperti ada seseorang yang akan datang, sehingga perlu untuk mengecat ulang rumah.
Seolah mengetahui isi kepala sang anak, Haris menjelaskan. "Arisan keluarga seminggu lagi. Mama minta cat ulang rumah ini. Biar enggak dikatain sama Tante Elina, rumah elit dinding burik kayak tahun lalu."
"Arisan keluarga?"
Johan mengingat kejadian satu tahun lalu. Habis dia jadi bulan-bulanan para tantenya yang mengetahui jika ia bersekolah di SMA swasta. Tak hanya itu, kejadian entah beberapa tahun sebelum masehi pun juga kembali diungkit. Seperti kenyataan bahwa di usia empat belas tahun Johan baru berani sunat. Sumpah, membayangkan saja, membuat Johan mual.
•••
Sore itu Johan sudah berpakaian santai, siap untuk basket dengan selusin temannya yang sudah menunggu di lapangan. Karena sang mama sedang berada di rumah, cowok itu sempatkan untuk pamit. Ia pergi menemui Wanda— mamanya di kamar.
"Ma, Johan mau basket," pamit Johan dari ambang pintu, hanya memunculkan kepalanya.
Wanda melambaikan tangan. "Sini sebentar, mama mau bicara."
Johan dengan malas mendekat, cowok itu lantas duduk di atas kasur tepat di samping mamanya.
"Ada apa ma?"
"Kamu tau kan, soal acara arisan itu?"
Johan mengangguk.
"Mama sama papa tadi pagi kepikiran soal ini, Han." Wanda diam sebentar, ragu untuk mengatakannya.
"Gimana mulai dari sekarang kamu cari pacar?"
Johan membuka mulut lebar, masih mencerna perkataan wanita itu. Dengan gampangnya Wanda menyuruh Johan untuk cari pacar. Dikira cari pacar kayak cari kedai Mixue apa? Dimana-mana ada? Sekalinya ada, belum tentu dirinya mau. Ia terlalu selektif untuk masalah beginian.
KAMU SEDANG MEMBACA
1004 Days With Johan
FanfictionBerawal dari tragedi kecil di bar malam itu, yang mana bisa saja akan membuat image Sovia hancur jika seseorang buka mulut. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan masa putih abu-abunya bersama cowok ngeselin dan mageran seperti Johan. Apalagi c...