•••
Gadis berusia empat belas tahun itu sedang menguap lebar tatkala waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia tak kunjung beranjak dari ruang tengah rumahnya, menunggu sang abang datang. Sementara wanita di sampingnya tertidur dengan bantalan tangan, tampak lelah setelah seharian bekerja di rumah ini. Lagi-lagi ia mengecek ponselnya, apakah ada pesan terbaru yang dikirimkan abangnya, tapi tak ada.
"Mbak Ida," panggilnya sedikit mengguncang bahu sang pembantu, membuat wanita itu bangun. "Mbak Ida tidur aja dulu di kamar, biar Jihan nunggu abang datang."
"Paduka belum datang ya, non?"
"Belum." Gadis itu kini mengucek mata. "Jihan nggak berani telepon, takut abang lagi nyetir."
Keduanya kompak menoleh saat pintu di buka dari luar. Memunculkan seorang cowok muda dengan tangan kanan membawa sebuah kotak burger. Melihat sang abang datang, membuat Jihan bernapas lega.
"Mbak masuk aja ya," katanya pada Mbak Ida. Sementara wanita di sebelahnya hanya mengangguk lalu pergi.
Jihan beranjak mendekati Johan. Merebut kotak burger itu dengan serakah, lalu membukanya. "ASTAGA ABANG!!!" kesalnya saat melihat burger pesanannya sudah digigit oleh cowok itu, menyisakan potongan bawang dan roti di dalamnya.
"Abang kira kamu udah tidur, ya, abang makan," bela Johan terkekeh.
"Gimana mau tidur, orang lagi nungguin burger juga. Malah abang makan duluan."
"Emang bagusnya kamu tuh, kurangin makan Ji. Liat deh, pipi kamu makin gembul gini," katanya mencubit pipi pelan sang adik.
Jihan hanya pasrah ketika kedua pipinya dimainkan Johan. Namun, hidung gadis itu mencium aroma tak sedap dari sang abang. "Abang dari mana sih?"
"Biasa, nongkrong sama Choki. Kenapa emangnya?"
"Abang bau rokok tau, Jihan nggak suka."
Johan mencium dirinya sendiri, benar yang dikata sang adik. "Iya nih, ntar abang ganti baju."
"Emang Bang Choki rokok ya?"
"Enggak kok."
"Kok abang bau rokok, emang nongkrong dimana?"
"Ada deh." Johan beranjak ke kamar. Sesampainya di depan kamarnya, cowok itu berbalik, berucap tanpa suara. "Jangan kasih tau mama!"
•••
Sovia mencoba untuk tidur, menarik selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya. Tak lama, ia miring ke kanan, lalu balik lagi telentang, mencari posisi ternyaman. Gadis itu memilih menyibak selimut dengan mata yang masih terjaga.
"Gimana kalo Johan kirim foto gue ke grup kelas?"
Pikiran Sovia sudah kalut akibat kejadian di bar beberapa jam yang lalu. Semua itu disebabkan oleh permainan truth or dare sialan yang ia mainkan dengan Juju dan Sindi sepulang sekolah tadi. Yang mana ia pilih tantangan, dan tanpa tau kedua temannya itu memang sudah menyiapkan hal ini
Gadis itu kira, dia tidak akan berjumpa dengan siapapun yang ia kenal di sana. Karena bar yang mereka datangi itu adalah milik kerabat Juju. Tapi takdir tidak bisa ditebak, Sovia malah bertemu dengan teman sekelasnya yakni Johan dan anak IPS bernama Choki.
Bagi Sovia, Choki tidak cukup berbahaya. Sebab cowok itu sedang melakukan pendekatan dengan teman lamanya, tinggal beri tau kelakuan asli, kelar hidupnya. Bagaimana dengan Johan? Sovia tidak tahu, ia terlalu kecil untuk melawan seorang Johan sendiri.
Tangan Sovia terulur mengambil ponsel di atas nakas, membuka grup kelas untuk melihat pesan terbaru dari sana. Ia tak mendapati pesan yang Johan kirim, hanya beberapa gambar stiker kiriman temannya yang lain.
Gadis itu menghela napas syukur, sedikit lega karena cowok itu masih menyimpannya sendiri. "Semoga Johan nggak lapor deh."
•••
Hari ini adalah hari penuh cobaan untuk Sovia. Sudah terlambat bangun, air kran yang keluar sedikit, ditambah motornya susah sekali distater. Andai bolos sekolah segampang itu buatnya, mungkin akan ia lakukan hari ini.
Tapi dia itu Sovia Juananta, si ketua kelas XI IPA 2 kesayangan para guru. Masa iya, bolos cuma karena telat bangun, malah bisa merembet kemana-mana lagi.
"Ayo dong bisa, entar pulang beli seblak deh!" monolog Sovia sambil mencoba starter motornya lagi. Lagi-lagi motor matic itu tidak mau menyala, gadis itu semakin kesal saat di sekitarnya tidak ada orang untuk ia mintai pertolongan.
"Anak kos yang lain pada kemana sih? Giliran gue butuh mereka, mereka nggak nongol. Biasanya juga pada ngerumpi sama nungguin bubur ayam lewat."
Sovia melirik arloji di pergelangan tangan kanannya, sial, tiga puluh menit lagi gerbang sekolah ditutup. Jika ia naik angkot pun belum tentu akan terus jalan, belum lagi kena macet. Gadis itu menerogoh saku, mengeluarkan ponsel dan mengetik beberapa pesan di grup kelas.
"Anjir!" Sovia menepuk kening. "Gue lupa ada tugas ngumpulin fotocopy kartu pelajar anak-anak ke TU."
Secepat kilat Sovia memasukkan motor ke dalam garasi kos lagi, tak lupa mencabut kunci motor. Gadis itu akan nekat berlari ke jalan raya besar, karena ada Nita teman sekelasnya yang ingin memberi tumpangan.
"Masih ada waktu buat gue keluar gang, semoga di gang berkah tiga nggak ada ibu-ibu tukang sayur aja deh," harapnya mulai berlari.
Siapapun yang melihat Sovia sedang berlari memakai seragam SMA begini, pasti akan mengira bahwa gadis itu adalah bintang iklan Pocari Sweat yang sedang melakukan syuting di pemukiman warga. Sebab proporsi tubuh yang tinggi semampai dengan kaki jenjang, ditambah rambut panjang tergerai, serta keringat yang sesekali ia seka. Sudah sangat cocok untuk berteriak 'Go Sweat Go Ion!'
"Permisi, mau lewat." Sovia terpaksa mengurangi kecepatan, ketika ada seorang lansia di depan rumah.
Meski sedang terburu-buru, sopan santun harus tetap nomor satu, kan?
Tinggal beberapa meter lagi gadis itu akan sampai jalan besar dan.....
"ASTAGHFIRULLAH!"
Seseorang mengerem mendadak tepat dihadapannya, membuat Sovia termundur karena kaget. Sementara pengemudi motor itu juga terkejut melihat siapa yang hampir ia tabrak.
"Sov, kok lo?"
"Lo lagi?"
BERSAMBUNG....
eh, bintangnya kenapa tuh?!
btw belum bisa up di twitter yaa :))
entar kalo udah up, aku taro link di bio aku
KAMU SEDANG MEMBACA
1004 Days With Johan
FanficBerawal dari tragedi kecil di bar malam itu, yang mana bisa saja akan membuat image Sovia hancur jika seseorang buka mulut. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan masa putih abu-abunya bersama cowok ngeselin dan mageran seperti Johan. Apalagi c...