Keresahan

46 7 0
                                    

"Gimana kalau kita buat kebohongan itu jadi sebuah kejujuran?"

Sumpah, Sovia ingin tahu dengan cara apa ia bisa menghilangkan ucapan Johan tadi malam dari pikirannya. Setelah ia memutuskan untuk turun dari mobil Johan, dan masuk kedalam kos, ia berharap akan segera lupa saat ia bangun tidur. Tapi yang ada, tengah malam ia terjaga, dan lagi-lagi perkataan itu yang menjadi penyebabnya.

Hingga kini, saat Sovia mendadak dijemput Victor untuk cari sarapan di car free day, ucapan Johan masih saja terngiang. Hal itu membuat Victor merasa ada yang tak beres.

"Ada masalah apa, sih?" tanya Victor.

Sovia memandang Victor yang sedang menatapnya dalam, ia lantas menggeleng pelan.

"Bohong nih pasti," ucap Victor menurunkan mangkuk bubur ayam agar dapat mengelus rambut panjang Sovia. "Lagi kangen kakek, ya?"

Sovia tersenyum kecil. Setelah menceritakan alasan mengapa ia menghilang tempo hari, entah kenapa Sovia merasa Victor lebih perhatian dari sebelumnya. Apakah hanya karena rasa iba atau memang cowok itu sudah tahu akan perasaannya, ia tak tahu.

Tangan Victor semakin turun, menyelipkan rambut Sovia ke belakang telinga.

"Gue nggak tahu apa yang terjadi, tapi dari semalam gue terus mikirin hal yang nggak penting."

Victor mengernyit. "Mikir hal yang nggak penting? Kayaknya penting deh, buat lo. Buktinya masih kepikiran sampai sekarang."

Sovia menggerakkan bahu. "Mungkin ya."

"Coba cerita sini." Victor memutar badan sembilan puluh derajat, menatap Sovia penasaran.

•••

Tidak ada hal yang menyenangkan di minggu pagi kecuali rebahan dan bermain game di atas kasur seharian. Bangun hanya untuk dipanggil makan dan lanjut tidur sampai petang. Sungguh tidak ada anugerah terindah lagi bagi seorang pemuda mager seperti Johan.

Entah kenapa pagi ini Johan terdampar di car free day, bukannya pulau kapuk yang biasa ia datangi. Pagi-pagi buta, sebelum ayam jago berkokok, Deka  bertamu. Iseng mengajak Johan joging atau sekadar nongkrong di car free day. Tentu saja awalnya Johan tidak minat, di tambah pukul 2 tadi dia baru benar-benar terlelap akibat berperang dengan pikirannya sendiri tentang gadis semalam.

Pergi dengan Deka membuat Johan tidak begitu pusing, sebab cowok itu penurut dan tidak bising kalau bersamanya. Keduanya kini hanya jalan-jalan santai, melewati para pedagang yang menjajakan dagangannya sepanjang jalan.

Sejujurnya Johan juga sudah mulai lapar, semalam ia hanya makan beberapa kue dan langsung tidur begitu dia selesai mengantar Sovia pulang. Saat ia melewati gerobak bubur ayam, matanya tak sengaja menangkap siluet gadis yang semalaman telah merajai pikirannya, duduk bersebelahan dengan cowok yang beberapa waktu lalu ia temui di depan sekolah.

Johan menepuk pundak Deka yang jalan lebih dulu di depannya, hingga cowok itu menoleh. "Apaan?"

"Lo mau bubur ayam, gak?"

Entah kenapa Deka malah memasang wajah melas, cowok itu nampak merogoh saku kiri lalu mengeluarkan sejumlah uang pecahan dua ribu dan menunjukkannya pada Johan. "Duit yang dikasih bunda, cuma cukup buat jajan cilok, Han."

Johan berdecak, kalau begini ujung-ujungnya dia juga yang bayarin. "Mau kagak?"

"Gimana ya?" bingung Deka.

"Alah, kelamaan," putus Johan, lalu mendekat ke gerobak bubur ayam itu dan langsung membuat pesanan. "Dua bang. Yang satu gak pake daun bawang, yang satu komplit.

1004 Days With JohanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang