Permintaan

53 4 1
                                    

Malam ini Sovia dibuat pusing oleh tugas matematika yang diberikan oleh Pak Ujang. Berisikan tiga puluh soal pilihan ganda.Dan ia baru menyelesaikan sekitar tiga belas soal, itupun yang ia anggap paling gampang.

Sisanya? Biar gadis itu selesaikan besok di sekolah. Perutnya yang keroncongan membuatnya tak fokus mengerjakan tugas. Diraihnya mie instan goreng yang tergantung di kantong kresek Alfamart untuk Sovia bawa ke dapur.

Sesampainya di dapur, terlihat Mbak Chika sedang menggoreng telur. Wanita yang berprofesi sebagai sales obat herbal itu tersenyum ketika Sovia berdiri di sebelahnya, menyalakan kompor untuk merebus mie instan.

"Mie mulu perasaan," sapa Mbak Chika sambil membalik telur dadarnya.

"Anak kos sama mie instan itu sulit dipisahkan," balas Sovia membuka bumbu mie kemudian menuangnya di piring.

Mbak Chika tertawa renyah, bergerak menuju meja makan lalu menarik kursi dan duduk di sana. Wanita itu memperhatikan Sovia lekat, betapa ia mengagumi postur tubuh Sovia yang tinggi semampai layaknya seorang model. Sejujurnya Mbak Chika iri, mengapa tuhan memberikan tubuh tinggi pada seorang Sovia yang notabene masih SMA. Sementara di usianya yang memasuki 25 tahun tinggi Mbak Chika masih sekitar 155 centian. Cari kerja juga susah, kalau kerdil begini.

"Sov, gen lo tuh tinggi-tinggi emang?"

Sovia yang sibuk dengan kegiatannya hanya menoleh sekilas. "Tiba-tiba banget nanya gitu?"

"Ya gue pengen tau aja sih." Mbak Chika mulai menyendok nasinya. "Lo masih SMA aja udah setinggi ini, gimana lo seumuran gue."

"Bapak sih tinggi, mbak. Cuma waktu SD gue tuh sering dikirim lomba renang juga," balas Sovia yang kini ikut duduk di seberang Mbak Chika.

Mbak Chika mengangguk paham. "Pantesan."

Entah darimana datangnya, wanita itu tiba-tiba terlintas ide untuk membuatnya naik gaji bulan depan. Ia tersenyum memikirkan itu, membuat Sovia merasa aneh.

"Setan mana yang rasukin lo?" tanya Sovia keheranan. "Sumur belakang kosan?"

Mbak Chika menipiskan bibir, tak terima. "Enak aja. Gue tuh lagi kepikiran jadiin lo testi obat gue."

"Maksudnya lo suruh gue pake obat yang lo jual?"

"Cuma foto sama produk gue doang kok, kalo mau juga gapapa sih." Mbak Chika nyengir kuda.

"Enggak, makasih."

"Gue juga ada skincare Sov, lo cobain deh. Serius serumnya bagus banget," tawar Mbak Chika, ilmu marketingnya tak pernah gagal.

Sovia menggeleng.

"Sovia mah, gitu. Tolongin gue napa?" rengek Mbak Chika menendang-nendang kecil.

"Gini deh, mbak. Gue ada temen selebgram," kata Sovia sudah tak tahan lagi. "Sekitar setengah juta lah followersnya. Lo endors aja dia. Entar gue kenalin," lanjutnya menyanggupi.

Raut muka Mbak Chika kembali cerah. "Yang bener? Mahal gak?"

"Lah mana gue tau."

"Bener ya mau kenalin, kali aja bisa murah."

Sovia hanya mengangguk, sambil berlalu membawa piringnya ke wastafel untuk dicuci. Saat ia melewati Mbak Chika, lengannya dicekal oleh wanita itu.

"Cobain serum punya gue, ya..."

•••


Johan menepikan mobilnya tepat dimana titik di maps itu berakhir. Sebuah rumah luas dengan dua lantai itu sama persis seperti gambar yang Bonita kirim padanya. Apakah benar, gadis yang ia cari tinggal di sini?

1004 Days With JohanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang