Bel untuk upacara sudah berbunyi beberapa saat lalu, seluruh warga sekolah SMA 17 berhamburan keluar menuju lapangan. Saling adu cepat untuk bisa dapat tempat teduh. Namun hal tersebut tidak berlaku untuk Sovia, si pemilik tinggi 170cm itu harus tetap berada di barisan depan. Harus rela berpisah dengan teman-temannya lain dan segera membaur bersama siswi-siswi tinggi lainnya.
"Topi lo mana, Sov?" tegur Jocelyn— anak kelas sebelah yang menyadari kejanggalan saat Sovia berdiri di sampingnya.
Sovia reflek memegang kepala. "Anjir, pake ketinggalan lagi."
"Ambil buruan, mumpung masih ada waktu!" suruh Jocelyn.
Gadis jangkung itu mengangguk, lalu berbalik badan dan menyeruak ke barisan belakang. Bergegas menuju kelas untuk mengambil topinya. Langkah kaki yang panjang membuat Sovia dengan cepat kini berada di tangga, napasnya terengah melihat undakan itu. Mau tak mau ia harus tetap berlari agar tidak terlambat ke lapangan.
Sovia membuka pintu kelas dengan keras, menyebabkan seseorang di sana yang hendak merebahkan diri di atas bangku yang digabung kembali duduk menampakkan ekspresi terkejut.
"Gue tau lo di sana!" serunya menunjuk topi di atas meja.
"Dan lo mau laporin gue?" respon cowok itu dingin.
Sovia menoleh ke sumber suara, ia terlonjak menyadari keberadaan Johan. "Lah, lo ngapain di sini? Sana upacara!"
"Lo sendiri ngapain disini kalo bukan cepuin gue?" tuduhnya.
Sovia mengernyit, tak paham. "Apa sih, orang gue mau ambil topi."
Benar, Sovia keluar setelah meraih topinya yang tergeletak di atas meja. Dengan malas Johan bangkit, merapikan seragamnya dan ikut turun untuk upacara. Namun keberuntungan belum berpihak pada kedua manusia itu. Tinggal beberapa meter lagi untuk sampai ke lapangan, upacara lebih dulu di mulai. Membuat keduanya dengan pasrah digiring guru BK untuk bergabung di barisan terlambat.
Sovia mengesah, merasa sia-sia ia berlari untuk mengambil topi. Tapi jika tidak diambil pun, ia akan berakhir di tempat ini. Tempat yang lebih panas daripada barisannya tadi, sebab barisan terlambat dan atribut tak lengkap akan di tempatkan di sisi kanan, menghadap timur yang mana menghadap matahari langsung.
Sementara di sela-sela hormat, Johan melirik Sovia yang membentuk arah jam sebelas dari tempatnya berdiri. Cowok itu tak sadar tersenyum, merasa aneh saat ketua kelasnya juga berada di tempat yang sama seperti dia biasanya.
•••
Berakhir di sini lah mereka yang di barisan kanan, di tempat banyak sampah plastik dan dedaunan apalagi jika bukan bank sampah. Mereka digiring Bu Rini selaku guru piket agar ikut membantu para kader adiwiyata untuk menyelesaikan projek bulan ini.
Masing-masing mereka sudah dibagi tugas. Dan lagi, tak jauh-jauh Sovia dan Johan mendapat tugas yang sama, yaitu mengumpulkan label merk dari botol air. Kedua tampak fokus pada pekerjaan, hingga sebuah dorongan mendesak Sovia untuk bertanya sebuah pertanyaan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan kegiatan ini.
"Chat gue semalam kenapa nggak lo balas?
Johan yang jongkok memunguti botol, jadi mendongak menatap gadis yang berdiri tak jauh darinya. "Yang mana?"
Sovia mendengus. "Soal gue setuju bikin kebohongan jadi nyata."
"Oh, itu." Johan mengangguk. "Kayaknya penawarannya udah nggak berlaku lagi, deh."
"Udah ada yang ngisi posisi itu?"
"Enggak juga."
Sovia meremas plastik label di tangannya, lalu menatap Johan ketus. "MAU LO APA SIH, HAN? STOP LIBATIN GUE DI PERMAINAN LO, YA!"
KAMU SEDANG MEMBACA
1004 Days With Johan
FanfictionBerawal dari tragedi kecil di bar malam itu, yang mana bisa saja akan membuat image Sovia hancur jika seseorang buka mulut. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan masa putih abu-abunya bersama cowok ngeselin dan mageran seperti Johan. Apalagi c...