"Jadi, kalian udah pacaran berapa lama?"
Johan dan Sovia saling pandang, saat eyang uti menanyakan soal hubungan mereka. Keduanya tampak memberi lirikan satu sama lain, seolah batin mereka sedang bertelepati.
"Lo aja yang jawab," suruh Johan dalam hati.
"Enggak!" balas Sovia hanya dengan gelengan kecil.
"Gapapa, terserah udah berapa lama."
Begitulah kiranya telepati antara Johan dan Sovia. Hingga cowok itu mengangguk meyakinkan, Sovia seperti tak punya pilihan lagi.
"Kurang lebih...." Sovia mengernyit, memikirkan jawaban. "Dua... apa tiga minggu ya?" cicitnya pelan meski tak yakin.
"Loh, gimana sih? Lama pacaran aja kok kayak nggak yakin gitu?" sahut Tante Dewi terheran.
"Iya, nih. Jadinya berapa?" Tante Melisa ikutan nimbrung.
"Itu soalnya kita teman sekelas, tan." Johan tersenyum, menggenggam tangan Sovia yang berada di sebelahnya. "Jadi nggak tahu pasti kapan mulai dekat terus jadian," lanjut menatap Sovia sebentar.
Ini kalo ada nominasi aktor teranjay Johan pasti menang deh, kayaknya. Batin Sovia.
"Ah, gitu ya...." Eyang uti hanya mengangguk.
"Tapi Johan tuh, tau banget apa tipe ibu. Ibu kan, suka cewek rambut hitam panjang, iya kan bu?" Wanda buka suara, menyinggung tipe idaman eyang uti. Hal itu membuat yang lain memandangnya.
"Kuntilanak kali, ah mbak." Dewi mendorong kecil bahu Wanda, sambil tertawa. Hal itu membuat ia mendapat senggolan dari sang suami.
"Itu benar," Uti mengangguk mengiyakan, menatap lurus ke depan. Seakan di sana dapat menayangkan memori-memori masa lalu. "Dari kecil uti itu pengen banget punya rambut panjang. Tapi karena kutuan, bapak selalu potong rambut uti jadi cepak. Uti minder sama teman-teman dulu, karena rambut uti sendiri yang tidak bisa dikepang."
Wanita berumur senja itu memandang Sovia, mengelus rambut gadis tersebut dengan lembut. "Ketiga anak perempuan uti punya rambut keriting seperti eyang kakung dulu sewaktu kecil. Dan saat mereka dewasa dan punya rambut lurus, uti sudah tidak bisa melakukan itu."
Uti mengelus rambut Sovia. "Sovia, nanti kalau jadi cucu uti, pertahankan rambut panjangnya ya... biar bisa uti kepangin."
Johan yang sedang minum sirup melon itu lantas menyembur, tepat mengenai pakaian Dewi yang duduk di depannya. Cowok itu membungkam bibir, saat Dewi memberi lirikan tajam padanya.
"So— sorry tante. Beneran nggak sengaja, suwer dah."
"Terus ini gimana? Mana nggak bawa ganti lagi."
"Ganti pakai punyaku aja, Dek Dewi," tawar Wanda menyarankan.
Dewi segera beranjak, diikuti Wanda dari belakang. Johan merasa tak enak hati dengan yang lain, cowok itu hanya menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal.
•••
Johan menarik diri dari mereka yang kini sedang karaoke di ruang tengah. Dia tidak suka jika tiba-tiba ia diminta untuk menyanyi, jadi menjauh dan melihat kehebohan di sana melalui sela-sela tangga.
Tanpa sadar bibir Johan tertarik ke samping, melihat Sovia tiba-tiba disodori mic oleh Tante Elina. Sempat menolak, akhirnya gadis itu bersedia juga menemani Tante Elina bernyanyi.
Dua tahun mengenal Sovia sebagai teman sekelas, baru kali ini ia menyadari bahwa suara gadis itu lumayan merdu saat menyanyi. Jika biasanya Sovia mengeluarkan suara cemprengnya saat kelas sedang ribut, berteriak menyiapkan barisan saat akan pemanasan sebelum olahraga, hingga mengomel ketika anak cowok enggan piket. Kali ini Johan akui, suara itu benar-benar masuk ke dalam telinganya dengan sopan.
KAMU SEDANG MEMBACA
1004 Days With Johan
FanfictionBerawal dari tragedi kecil di bar malam itu, yang mana bisa saja akan membuat image Sovia hancur jika seseorang buka mulut. Ia tidak pernah menyangka akan menghabiskan masa putih abu-abunya bersama cowok ngeselin dan mageran seperti Johan. Apalagi c...